Nyoman Wijaya dan Noorca Massardi Bedah Sejarah dalam Karya Sastra

21 Agustus 2019, 00:00 WIB
Program Dialog Sastra seri ke-66 di Bentara Budaya Bali

Gianyar – Sejarawan alumni UGM Yogyakarta Dr. Nyoman Wijaya dan sastrawan Sastrawan Noorca Massardi membahasa kisah sejarah dalam karya
sastra.

Program Dialog Sastra seri ke-66 di Bentara Budaya Bali (BBB) yang berlangsung Senin (19/8) membincangkan seputar kisah sejarah dan cerita nyata dalam karya sastra Indonesia.

Selain berpijak pada karya sastrawan Indonesia, semisal tetralogi Buru oleh Pramoedya Ananta Toer, dialog dirujukkan pula pada karya-karya sastra terpilih dari penulis besar dunia, semisal Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Joseph Conrad hingga sejumlah pengarang Jepang.

Nyoman Wijaya telah menulis banyak buku biografi. Sementara Noorca telah menulis sejumlah novel yang boleh dikata berangkat dari latar sejarah maupun kisah yang nyata terjadi, sebut saja karyanya yang berjudul September (2006), d.I.a. : Cinta dan Presiden (2008), Setelah 17 Tahun (2016), 180 (2016) dan lain-lain.

Wijaya mengemukakan perihal sejarah dalam cerita pendek, merujuk pada cerpen karya P. Shanty berjudul “Kekalahan Jang Ke-empat” (1950).

Cerpen ini, menurut Wijaya, menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana cerpenis menggunakan ideologi politik sosialisme untuk berebut berpengaruh di Kota Singaraja pada khususnya dan Bali pada umumnya di tahun 1950.

Studi oleh Dr. Nyoman Wijaya ini mencoba menawarkan sebuah pendekatan baru dalam mengajarkan sejarah melalui karya sastra, khususnya cerita pendek.

Dialog mengetengahkan pula pembacaan seputar bagaimana sebuah karya sastra sejatinya juga menyuguhkan upaya eksplorasi pada Geistzeit atau jiwa zaman.

Noorca Massardi, yang juga lama bergelut sebagai jurnalis, berbagi mengenai proses kreatifnya dalam mengeksplorasi hal-hal yang bersifat faktual atau nyata dan mengelaborasinya menjadi tulisan fiksi.

Noorca mengemukan bahwa ia juga melakukan riset atau penelitan, terutama menyangkut data-data yang disebutkan dalam tulisannya. Meskipun nama-nama tokoh, latar dan waktu kejadian dalam novelnya disamarkan, namun data-data atau fakta yang terjadi sepenuhnya sama.

Dia menekankan pula, meski berdasarkan fakta dan data, novel atau karya sastra itu merupakan fiksi. Sebuah karya sastra atau fiksi dapat menjadi pintu masuk untuk mempelajari atau mengkaji sebuah fakta sejarah.

Untuk itu, diperlukan upaya dan studi tersendiri, diantaranya pembaca harus memiliki pengetahuan sejarah cukup atau bahan bacaan yang luas. Terlebih ketika kini dunia serba virtual, nyaris baur antara realitas imajiner dan realitas faktual. (*)

Berita Lainnya

Terkini