Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Bali Umar Ibnu Alkhattab/dok. |
DENPASAR – Pemerintah daerah diharapkan bisa mengakomodasi atau merespon harapan publik untuk memberikan perlindungan asuransi kepada pecalang yang melaksanakan tugas pelayanan masyarakat dalam membantu terwujudnya keamanan desa adat maupun keamanan wilayah secara umum.
Menurut Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Bali, Umar Ibnu Alkhattab, tak dipungkiri sejak dahulu, keberadaan pecalang yang kerap disebut polisi desa adat itu, telah berkontribusi penting dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan warga.
Dari sisi Ombudsman, melihat pecalang sebagai pekerja sosial yang notabene memberikan pelayanan publik yang tidak formal karena mereka bekerja di sektor adat, tetapi berkontribusi terhadap keamanan, dalam membawa citra positif tentang Bali yang aman dan damai.
Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan, lebih memberi perhatian khusus kepada mereka seperti melalui jaminan asuransi seperti BPJS ketenagakerjaan. “Adanya semacam jaminan asuransi itu, biar mereka bisa bekerja baik, dengan nyaman tidak ada kekhawatiran,” imbuh Umar dalam perbincangan di kantornya, Senin (7/1/2019).
Hal itu cukup beralasan, sebab, banyak hal yang bisa saja terjadi, saat pecalang menjalankan tugas sebagai pekerja sosial di lapangan. Mereka bisa berbenturan dengan kepentingan orang perorang dan mengakibatkan mereka cidera dan sebagainya
Belum lagi, ketika mengalami kecelakaan kerja tentunya, perlu ada yang menjamin atau mengkover dengan asuransi. Jika terjadi sesuatu terhadap mereka, lantas siapa yang akan mengkover.
“Kita berharap pemda bisa mengaodopsi ini, apalah namanya, supaya bisa memberikam asuransi mengkover asuransi bagi para pecalang,” sambungnya. Nantinya, Pemda akan menginventaririr berapa jumlah existing, berapa jumlah pecalang sehingga mereka bisa melihat, jumlahnya secara keseluruhan yang ada di Bali.
Data-data itu bisa dihimpun, desa adat bisa menggunakan itu untuk menseleksi secara ketat, siapa saja yang bisa menjadi pecalang. Mereka yang terseleksi itu mengacu aturan pemerintah, jadi, tidak semua orang bisa menjadi pecalang
Disinggung perlunya, standarisasi tentang perilaku, pakaian dan lainnya terkait pecalang dalam menjalankan tugasnya, kata Umar, tentunya di masing-masing tempat atau desa pekraman sudah memiliki bagaimana seharusnya seorang pecalang.
Meski demikian, jika membandingkan di kota tentunya akan berbeda dengan daerah lainnya. Sebab, di kota, pecalang memiliki dinamika tersendiri. Pecalang di kota seperti Denpasar, memiliki tingkat pekerjaan yang cukup tinggi, bisa membantu pemerintah ketika ada acara atau kegiatan-kegiatan besar.
Di kota besar seperti Denpasar, pecalang sangat aktif sekali tidak hanya berkaitan desa adat namun juga membantu pemerintah dalam pengamanan seperti pawai kesenian, bahkan, sampai kegiatan nasional dan bersakala internasional seperti pertemuan IMF dan Bank Dunia, banyak melibatkan para pecalang.
Kendati mengemban beban kerja cukup berat, sampai 24 jam, mereka tidak ada yang menaungi melindungi seperti pekerja formal di perusahaan atau instutusi, Pecalang praktis hanya dinaungi lembaga institusi sosial seperti banjar atau desa adat.
“Oleh karena pecalang juga menjaga kearifan lokal di Bali, hal itu bisa diadopsi sebagai dasar pemerntah untuk memberikan perlindungan asuransi,” tandas alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini,
Perhatian atau inisiatif itu bisa dimulai dari Pemerintah Provinsi sebagai pemerintahan tertinggi di Bali. Apalagi, seperti diketahui, Gubernur Bali I Wayan Koster sangat punya komitmen yang tinggi sesuai visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, dalam menjaga karifan lokal salah satunya adalah masyarakat seperti pecalang.
“Pecalang ini, model pengamanan desa adat, erat kaitannya dengan adat istiadat budaya Bali yang cukup unik di Indonesia, tentu aset ini harus diperhatikan dijaga dengan baik,” demikian Umar. (rhm)