Yogyakarta – Keraguan publik masih menyelimuti pengungkapan kasus kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri RI (Kemenlu RI), Arya Daru Pangayunan, yang oleh pihak kepolisian disebut tidak mengandung unsur pidana pada rilis Selasa (29/7) kemarin.
Soeprapto, seorang pakar sosiologi kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai bahwa sejumlah kejanggalan dalam kasus ini belum dikaji secara komprehensif.
Ia mendesak agar penyelidikan dilanjutkan lebih mendalam dan transparan.
Soeprapto mengungkapkan bahwa meskipun kepolisian dan tim forensik telah menyampaikan kesimpulan berdasarkan investigasi ilmiah, masih banyak pertanyaan yang menimbulkan keraguan di masyarakat.
“Kami menghargai kerja keras tim kepolisian, forensik, psikolog, hingga digital forensik. Namun, sebagai sosiolog yang juga menekuni kriminologi, kami melihat masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikaji lebih jauh,” ujarnya dalam wawancara telepon pada Rabu (30/7).
Poin-Poin Kejanggalan Menurut Soeprapto:
Soeprapto merinci beberapa poin penting yang dinilainya belum sepenuhnya jelas:
Handphone yang Hilang: Awalnya disebut tidak ada barang hilang, namun kemudian diketahui handphone korban tidak ada.
Handphone bisa menjadi saksi bisu yang menjelaskan banyak hal, mulai dari komunikasi terakhir hingga data pribadi korban,” jelasnya.
Penguncian Pintu dari Dalam: Pintu disebut terkunci dari dalam dengan tiga sistem (kartu, kunci biasa, dan slot). Namun, Soeprapto mempertanyakan apakah slot benar-benar terkunci, mengingat kemungkinan korban bolak-balik keluar masuk.
Dugaan Orang Lain Masuk Saat Korban Buang Sampah: Video saat korban membuang sampah tidak memperlihatkan kondisi pintu secara utuh. Soeprapto menduga ada kemungkinan orang lain masuk saat pintu terbuka dan ini perlu dikaji dari rekaman CCTV secara menyeluruh.
Email Konsultasi Psikologis Arya Daru: Korban disebut sempat berkonsultasi dengan layanan psikologi.
Soeprapto menuntut kejelasan apakah pihak layanan tersebut telah dimintai keterangan dan apakah korban benar menunjukkan gejala depresi berat, bukan hanya interpretasi email.
Penemuan Alat Kontrasepsi: Adanya alat kontrasepsi atau alat bantu seksual memerlukan penelusuran mendalam.
“Perlu ditelusuri apakah itu milik korban? Kalau iya, dalam konteks apa digunakan? Apakah itu disematkan untuk membangun narasi tertentu? Termasuk jika ditemukan sperma, itu bisa diuji DNA-nya,” paparnya.
Isi Koper di Rooftop: Jika koper yang dibawa ke rooftop berisi dokumen, kemungkinan berkaitan dengan pekerjaan. Namun, jika berisi pakaian, perlu dipastikan siapa pemiliknya, terutama jika itu pakaian perempuan dan bukan milik istri.
Pemeriksaan Teman Belanja & Sosok Farah: Korban terekam berbelanja dengan seseorang untuk membeli lakban, namun identitas orang tersebut tidak dijelaskan. Selain itu, kemunculan nama ‘Farah’ juga tidak diperjelas.
Ketidaklogisan Melilit Kepala dengan Lakban: Soeprapto merasa tidak masuk akal jika korban melilit kepalanya sendiri dengan lakban serapi itu, apalagi dengan rambut licin.
“Orang yang menyumbat napasnya sendiri akan kesulitan dan refleks melepaskan. Tapi ini tidak terjadi. Posisi tubuhnya juga terlalu tenang,” katanya.
Barang Bukti Obat CTM: Obat CTM yang ditemukan bisa jadi digunakan untuk membuat korban tidak berontak saat dieksekusi, asumsi ini menurut Soeprapto patut diuji dan tidak diabaikan.
Soeprapto menekankan pentingnya penyelidikan lebih lanjut atau scientific crime investigation dengan mengedepankan prinsip-prinsip ilmiah yang terbuka, terukur, dan dapat diuji ulang.
“Dalam akademik, kita mengenal konsep ‘pulah jina lah’, artinya proses pengumpulan, pengolahan, dan interpretasi data. Tapi dalam konferensi pers kemarin, tidak semua elemen itu terlihat secara utuh.
“Publik hanya disuguhkan tayangan dan narasi, bukan pembuktian analitik,” ujarnya.
Sebagai konsultan sosiolog,
Soeprapto menyoroti perilaku Arya Daru yang terekam CCTV menunjukkan ketenangan, berbeda dengan pasien yang berniat bunuh diri yang umumnya menunjukkan perilaku tidak tenang atau kecemasan.
“Orang yang mau bunuh diri biasanya tidak akan setenang itu. Tidak akan membuang sampah dulu, naik turun tangga dengan biasa saja. Ada kecemasan atau gelagat tertentu yang bisa terbaca,” urainya.
Ia berharap penyelidikan ini tidak ditutup tanpa ruang untuk masukan dan pembuktian baru, demi memberikan fakta yang lebih lengkap dan logis kepada publik.
“Kalau masih ada pintu untuk masukan dan bukti baru, maka PR-PR ini perlu dijawab oleh pihak berwenang. Jangan sampai publik terus berspekulasi karena ada bagian-bagian penting yang terkesan dilewatkan,” pungkas Soeprapto.***