![]() |
Ana Nadhya Abrar (foto:humas ugm) |
Kabarnusa.com –
Para awak media (wartawan) diharapkan tidak terjebak pada rutinitas.
Mereka harus mampu memilah hal-hal apa yang terkait kepentingan
wartawan, media dan khalayak.
Demikian pandangan disampaikan
pakar komunikasi UGM Dr. Ana Nadhya Abrar menanggapi peringatan Hari
Pers Nasional, 9 Februari 2016.
Menjalankan tugas, wartawan
seharusnya melengkapi diri dengan meningkatkan kemampuan analisis.
Apalagi, fenomena terakhir memperlihatkan, banyak narasumber suka
berbohong.
Kata dia, akhir-akhir ini banyak narasumber suka memanipulasi, suka memanfaatkan peristiwa atau kejadian untuk kepentingannya.
“Kalau
itu dimakan mentah-mentah oleh wartawan maka kasihan para pembaca,
karena itu wartawan harus jeli betul, harus bisa memilah ini yang pas
diberitakan dan ini tidak,” ujarnya di Fisipol UGM, Selasa (9/2/2016).
Bagi Abrar, berita soal perseteruan Hary Tanoesudibyo dan Jaksa Agung, misalnya, bukanlah berita penting.
Menurutnya, kasus ini terus diberitakan, maka semakin memberi forum untuk Hary Tanoe menjadi terkenal.
Orang tentu akan melihat wah hebat nih berani menentang Jaksa Agung. Tapi berita ini sesungguhnya tidak menarik.
“Tentu
akan lebih bermakna jika media menulis tentang dulang emas di luar
seputar Freeport atau revisi UU KPK,” katanya dikutip dalam laman
ugm.ac.id.
Demikian juga, kasus kematian Wayan Mirna yang diangkat menjadi berita terus-menerus.
Media
dinilai seolah-olah tidak memiliki berita lain yang lebih menarik dan
bermakna. Karena itu, dalam hal kemampuan analisis dan memaknai tugas
yang diberikan, wartawan seharusnya tidak membabi buta.
“Apalagi tidak berpikir, lantas yang dipahami kerja media hanya senang, dapat liputan dan medianya semakin populer,” kritiknya.
Untuk
itu, bertepatan Hari Pers Nasional, wartawan diharapkan bisa
introspeksi. Wartawan paling tidak melakukan pembenahan, betul dan
tidaknya yang telah dilakukan selama ini.
Bahkan, jika perlu wartawan kembali mengikuti pelatihan jurnalistik.
“Ya
“ngecas” lagi. Karena anggapan rutinitas seperti itu, belum tentu
benar. Harus mencari sesuatu yang baru,” jelas dosen Ilmu Komunikasi,
Fisipol UGM ini.
Kendati, ada lembaga yang telah memberikan
penghargaan kepada tugas wartawan dengan berbagai kategori, namun hal
itu belum cukup.
“Di hari pers, wartawan masih dihadapkan
pekerjaan rumah berupa perjuangan kepemilikan saham sebesar 20 persen
dari media tempat mereka bekerja.
Dia menanggap, penghargaan
Hadinegoro Award, itu tak lebih dari hiburan. Andai yang 20 persen
kepemilikan andil saham terwujud, tentu cukup menyejahterakan.
“Kalau
saya jadi wartawan mungkin saya akan mengikuti jejak Bambang Wisudo,
yang dipecat gara-gara memperjuangkan kepemilikan saham ini,” papar
Abrar. (ari)