Pakar UGM: Pengibaran Bendera One Piece Bukan Radikal, Hanya Bentuk Ekspresi Simbolik

Para pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai fenomena anime One Piece lebih merupakan bentuk ekspresi kebebasan sipil daripada ancaman radikal.

14 Agustus 2025, 17:20 WIB

Yogyakarta – Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, fenomena pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece yang dilakukan sejajar dengan bendera Merah Putih menjadi sorotan publik.

Aksi ini bahkan sempat ditanggapi oleh sejumlah pejabat negara, namun para pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai bahwa fenomena ini lebih merupakan bentuk ekspresi kebebasan sipil daripada ancaman radikal.

Peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, Ayom Mratita Purbandani, menjelaskan bahwa pengibaran bendera tersebut mencerminkan ekspresi perlawanan simbolik yang kreatif dari kalangan anak muda.

Menurutnya, penggunaan simbol budaya populer seperti One Piece tidak dapat langsung dikategorikan sebagai tindakan makar atau radikal.

“Ini adalah ekspresi protes yang sifatnya simbolik. Idiom budaya populer digunakan sebagai media kritik, mirip dengan simbol salam tiga jari di Thailand atau semangka yang digunakan sebagai simbol dukungan terhadap Palestina,” jelas Ayom.

Ayom menambahkan bahwa kritik melalui simbol populer memiliki karakteristik spontan, emosional, dan cepat menyebar melalui media sosial, berbeda dengan demonstrasi konvensional.

Ia menyayangkan jika pemerintah merespons aksi ini dengan pendekatan represif.

“Respon keras terhadap aksi seperti ini justru memperkuat pesan protesnya. Pemerintah sebaiknya tidak terjebak dalam political paranoid,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ayom menegaskan bahwa pembatasan terhadap ekspresi semacam ini dapat mempersempit ruang kebebasan sipil di Indonesia.

Ia meyakini bahwa anak muda saat ini memiliki beragam cara untuk menyuarakan pendapatnya, salah satunya dengan menggunakan simbol-simbol yang familiar agar pesannya dapat diterima secara luas.

“Anak muda sekarang punya banyak cara untuk bersuara. Mereka menggunakan simbol yang familiar agar pesannya diterima secara luas,” tutup Ayom.

Senada dengan itu, sosiolog politik dari UGM, Dr. Arie Sujito, menilai pengibaran bendera One Piece tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan radikal. Ia menilai bahwa simbol-simbol seperti ini mewakili narasi perjuangan dan perjalanan panjang untuk meraih keadilan.

“Fenomena ini bukan muncul dari krisis politik atau ekonomi yang spesifik, tetapi merupakan akumulasi dari ketidakpuasan publik terhadap berbagai kondisi sosial dan politik. Media sosial menjadi wadah ekspresi yang efektif,” kata Arie.

Disamping itu, Arie mengingatkan bahwa pelarangan aksi semacam ini tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, pendekatan yang terbuka dan komunikatif akan lebih efektif dalam memahami aspirasi masyarakat.

“Melarang tidak akan efektif. Ini adalah bentuk artikulasi kegelisahan yang perlu didengarkan. Ada isu penting di balik simbol yang digunakan,” tegasnya.

Sementara itu, budayawan UGM, Prof. Faruk, juga melihat adanya perubahan tren dalam cara masyarakat, khususnya generasi muda, memaknai kemerdekaan.

Jika sebelumnya perayaan diwarnai simbol-simbol tradisional seperti gapura atau bambu runcing, kini bentuknya lebih kreatif dan populer.

“Ini adalah strategi komunikasi yang unik. Kritik disampaikan lewat simbol populer, dan ini mencerminkan gaya khas anak muda dalam merespons situasi politik dan sosial,” ujarnya.

Faruk juga menyebut bahwa pengibaran bendera
One Piece bisa jadi merupakan kelanjutan dari gerakan protes sebelumnya, seperti Indonesia Gelap atau Darurat Konstitusi. Namun Faruk menilai gerakan ini muncul secara organik dari keresahan publik, bukan dimobilisasi oleh pihak tertentu.

“Bisa dilihat apakah ini protes politis atau kreativitas. Yang jelas, ini bukan gerakan radikal, melainkan bentuk kepedulian terhadap kondisi bangsa saat ini,” pungkas Faruk. ***

Berita Lainnya

Terkini