Pameran Kelompok Suka Parisuka Yogyakarta

29 Januari 2015, 11:18 WIB

Kabarnusa.com – Dua puluh seniman tergabung Kelompok Suka Parisuka Yogyakarta, menggelar pameran bersama di Bentara Budaya Bali.

Eksibi mengambil tajuk “Atas Nama Benda” ini dijadwalkan dibuka pada Jumat (30/1/2015), oleh budayawan Agung Rai, di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, Ketewel, Gianyar.

Pameran digagas Romo Sindhunata ini merupakan kelanjutan kolabarasi serupa dari komunitas “Suka Parisuka” yang sudah berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta pada tanggal 14 – 19 Mei 2013.

Menurut Romo Sindhu, pameran Suka Parisuka ini adalah sebentuk upaya membingkai kreativitas dalam solidaritas, menghidupkan iklim pergaulan yang guyub dan gayeng antar para seniman Yogya.

Lewat tema ini pula, Romo Sindhu yang juga rohaniawan berharap, agar para seniman dapat berkarya sembari mengekspresikan kegembiraannya sepuas-puasnya dan sebebas-bebasnya.

Tema pameran kali ini pun terbilang menarik untuk dicermati. Pada perupa pesohor Yogyakarta yang dari Kartika Affandi, Djoko Pekik, Putu Sutawijaya, Jumaldi Alfi, Nasirun, Hari Budiono, Ridi Winarno, Budi Ubrux, Ivan Sagito, Hadi Soesanto, Yuswantoro Adi, Melodia, Wayan Cahya.

JUga, Bambang Pramudiyanto, Dyan Anggraini Hutomo, F. Sigit Santoso, Bambang Herras, Edi Sunaryo, Hermanu, Samuel Indratama, memilih tema “Still life” atau melukis alam benda sebagai sebuah upaya interpretasi ulang atas konsep sebuah “objek” atau “benda”.

Selain menyoal tema, menarik pula untuk merunut kembali pertautan yang terjalin selama ini antara dunia seni rupa Yogyakarta dan Bali, di mana terdapat dua perupa kelahiran Bali yang turut serta dalam pameran ini, yaitu Putu Sutawijaya dan Wayan Cahya.

Peristiwa secara khusus akan dibincangkan pula dalam satu sesi diskusi yang berlangsung pada Sabtu (31/1/2015), pukul 10.00 WITA di Bentara Budaya Bali. Sebagai pembicara dialog adalah seniman Yuswantoro Adi, Edi Sunaryo dan perupa lainnya.

“Semoga pameran dengan tema “still life” ini tidak berhenti pada keadaan yang bersifat still, namun diharapkan menjadi sesuatu yang life, selalu hidup, dan bergerak”, ungkap Sigit Santoso, seniman yang juga turut berpameran.

Benda yang semula dianggap biasa, dengan kajian tertentu, alih fungsi, dan apropriasi, tiba-tiba berubah menjadi benda yang berbeda, bahkan tidak jarang bersinggungan dengan sesuatu yang bersifat sensitif dan politis. (gek)

Berita Lainnya

Terkini