Denpasar – Penanganan masalah sampah di Bali kembali menjadi sorotan. Meskipun berbagai pihak telah mendorong solusi inovatif, pemerintah dinilai lamban dalam membangun infrastruktur pengelolaan sampah yang modern. Keterbatasan ini dianggap sebagai kendala utama yang membuat Bali terus terperangkap dalam krisis sampah.
Kritik ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Bali Bebas Sampah” yang diselenggarakan dalam menyemarakkan HUT ke-7 media siber kanalbali.id, Sabtu (26/7/2025).
Dekan FISIP Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Dr. Drs. Nyoman Subanda, M.Si., secara terang-terangan menyebut bahwa pemerintah seharusnya memperkuat lima peran utama, termasuk di antaranya adalah membangun infrastruktur pengelolaan yang modern.

“Pemerintah harus hadir tidak hanya melalui edukasi, tetapi juga dengan membangun infrastruktur pengelolaan yang modern, memberi insentif, menerapkan sanksi tegas, dan menjalin kemitraan,” tegas Subanda.
Menurutnya, tanpa infrastruktur yang memadai, upaya-upaya lain akan berjalan di tempat dan sulit mencapai hasil maksimal.
Senada dengan Subanda, Ni Wayan Riawati dari Yayasan Bali Wastu Lestari (YBWL) juga menyoroti inkonsistensi pelaksanaan regulasi yang sudah ada.
“Meskipun regulasi sudah tersedia, pelaksanaan di lapangan masih belum berkelanjutan dan minim pengawasan,” ujarnya. Pernyataan ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa sistem yang ada, termasuk infrastruktur, belum mampu mendukung implementasi regulasi secara efektif.
Program Pemerintah Harus Diimbangi Infrastruktur
Di sisi lain, Kepala UPTD Pengelolaan Sampah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, Dr. Ir. Ni Made Armadi, SP, M.Si., mengakui bahwa persoalan sampah adalah isu serius.
Sebagai respons, Pemprov Bali menggalakkan Program Super Prioritas Mendesak (PSPM) yang fokus pada pembatasan plastik sekali pakai dan pengelolaan sampah berbasis sumber.
Namun, Subanda berpendapat bahwa langkah tersebut harus diimbangi dengan investasi besar pada infrastruktur modern.
Tanpa fasilitas yang modern dan terintegrasi, upaya pemerintah yang berfokus pada pembatasan plastik dan pemilahan di tingkat sumber akan terbentur kendala saat sampah sudah terkumpul.
Keterbatasan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) dan teknologi daur ulang yang belum memadai membuat sampah seringkali berakhir menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), bahkan dibuang sembarangan.
Para narasumber sepakat bahwa peran pemerintah sebagai fasilitator dan pembuat kebijakan yang berani menginvestasikan dana untuk infrastruktur modern adalah fondasi yang tak bisa dinegosiasikan. Jika tidak, mimpi “Bali Bebas Sampah” akan terus menjadi slogan tanpa realisasi nyata.
TPST 3R Seminyak Clean Jadi Contoh Keberhasilan Swadaya
Di tengah lambatnya pembangunan infrastruktur pemerintah, gerakan pengelolaan sampah mandiri terus digalakkan dan menunjukkan hasil positif. Salah satu contoh suksesnya adalah Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) 3R Seminyak Clean di Kelurahan Seminyak, Kuta, yang telah menjadi pionir sejak tahun 2003.
TPST ini bukan hanya yang pertama di Bali, tetapi juga di Indonesia, yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat.
Ketua TPST 3R Seminyak Clean, I Komang Ruditha Hartawan, menjelaskan bahwa TPST ini melayani sekitar 1.800 pelanggan, mulai dari rumah tangga hingga sektor pariwisata.
Dengan mengusung konsep pengelolaan dari sumbernya, TPST ini berhasil memilah sampah organik dan anorganik dengan lebih mudah, sehingga dapat mengolah tak kurang dari 30 ton sampah setiap hari.
Sampah organik diolah menjadi pupuk kompos, sementara penjualan pupuk kompos dan hasil bank sampah digunakan untuk menutup biaya operasional, menjamin keberlanjutan layanan.
Keberhasilan TPST 3R Seminyak Clean menunjukkan bahwa kolaborasi dan inisiatif dari tingkat akar rumput memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah sampah.
Namun, tanpa dukungan infrastruktur modern yang memadai dari pemerintah, upaya semacam ini mungkin tidak akan cukup untuk mengatasi krisis sampah yang lebih luas di seluruh Bali. ***