Bangli- Di tengah riuh rendah industri pariwisata massal yang kembali memadati Pulau Dewata, Desa Wisata Penglipuran di Kabupaten Bangli memilih narasi yang berbeda untuk menyambut Natal 2025 dan Tahun Baru 2026.
Di bawah kepemimpinan I Wayan Sumiarsa, Kepala Pengelola Desa Wisata Penglipuran, desa adat yang berkali-kali menyabet penghargaan internasional ini tengah melancarkan transformasi besar: bergeser dari sekadar “pariwisata berkelanjutan” menjadi “pariwisata regeneratif”.
Konsep ini bukan sekadar tren semantik, melainkan model ekonomi yang aktif memperbaiki kualitas lingkungan dan kesejahteraan sosial masyarakatnya melalui setiap rupiah yang dibelanjakan oleh wisatawan.
Menyambut pergantian tahun, Penglipuran tidak lagi sekadar menawarkan pemandangan desa bersih, melainkan sebuah simfoni ekonomi kreatif yang melibatkan penuh Yowana Putra Yudha (komunitas muda-mudi setempat).
Parade Barong Macan (27 Desember 2025): Sebuah pembukaan megah yang menampilkan 15 Barong Macan melintasi jantung desa. Inisiatif ini bukan hanya magnet bagi turis, melainkan investasi jangka panjang dalam pelestarian seni dan regenerasi penabuh gamelan muda.
Teatrikal “Tetantria Macan Gading” (28 Desember 2025 – 1 Januari 2026): Pementasan dramatik harian yang menjadi wadah ekspresi kreatif generasi muda sekaligus medium edukasi nilai kearifan lokal bagi wisatawan dunia.
Berbeda dengan pusat wisata lain yang mungkin meriah dengan plastik dan lampu neon, Penglipuran memilih estetika bambu. Bahan organik yang melimpah di hutan desa ini diolah menjadi dekorasi tematik akhir tahun yang megah namun rendah jejak ekologis.
“Kami memperkuat pesan bahwa setiap kunjungan ke Penglipuran adalah kontribusi langsung pada pelestarian alam dan kesejahteraan warga,” tegas I Wayan Sumiarsa.
Penggunaan bambu ini sekaligus menekan limbah sekali pakai, membuktikan bahwa perayaan mewah tidak harus berbanding lurus dengan timbunan sampah.
Sektor ekonomi mikro pun dipacu melalui Bamboo Café. Menghadirkan menu spesial dengan bahan lokal dan minuman tradisional seperti Loloh Cemcem, kafe ini menawarkan pengalaman kuliner reflektif di tengah hutan bambu.
Perpaduan musik akustik intim dan kuliner lokal menjadi strategi untuk menarik segmen wisatawan quality tourism—mereka yang mencari ketenangan dan makna, bukan sekadar keramaian.
Guna menjaga kenyamanan dan daya dukung desa, pengelola telah menyiapkan infrastruktur pelayanan yang lebih tertib:
Sistem Arus Terkendali: Penataan parkir dan jalur masuk-keluar yang ketat guna meminimalisir kepadatan di kawasan inti desa.
Papan Edukasi Hijau: Titik informasi yang menekankan tata tertib dan prinsip wisata hijau, memastikan wisatawan bertindak sebagai “mitra” pelestarian, bukan sekadar penonton.
Tren eco-travel global menempatkan Penglipuran sebagai rujukan utama. Di sini, wisatawan diajak untuk berpartisipasi dalam sirkulasi ekonomi desa dengan membeli produk UMKM lokal dan menjaga adat.
“Kami mengundang wisatawan untuk menjadi bagian dari gerakan pariwisata regeneratif,” tutup Sumiarsa.
Datanglah bukan hanya untuk berfoto, tetapi untuk memastikan desa ini tetap lestari dan semakin kuat bagi generasi mendatang.”
Analisis Ekonomi Singkat: Strategi Penglipuran menunjukkan bahwa keberhasilan destinasi wisata di masa depan tidak lagi diukur hanya dari jumlah kunjungan (quantity), melainkan dari kualitas dampak (impact quality) terhadap ekosistem lokal dan keberlanjutan ekonomi warganya. ***

