KabarNusa.com – Meski Kota Denpasar, Bali kian dikepung toko modern berjaringan namun ketidakonsistenan dalam mengeluarkan izin dan penerapan kebijakan moratorium toko modern kian dikeluhkan pengusaha.
Dampaknya, para pengusaha dari kalangan usaha kecil menengah (UKM), menjerit karena sebagian besar hasil produksi mereka, tidak bisa diserap maksimal di pasar atau pasar modern.
Kendala paling besar dihadapi UKM saat ini, lantaran sulitnya mencari izin atau lamanya waktu pengurusan izin.
Keluhan mereka disampaikan pada sosialisasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjelang masuknya pasar bebas 2015. Dalam pertemuan di Desa Adat Kertalangu, Denpasar Rabu 10 September, pengusaha UKM hingga toko modern, menyoroti kinerja birokrasi dan perizinan.
“Selama ini, yang kami lihat, tidak konsistennya aparat birokrasi dalam menegakkan aturan, kebijakan moratorium juga tidak jelas sampai kapan,” ujar Legal & Ralation Manager Coco Group Ketut Sujaya Mataram.
Pria yang disapa Vijay itu menuturkan, kelompok usahanya yang menerapkan konsep toko modern, sampai saat ini tidak bisa masuk menjangkau Denpasar, lantaran terganjal izin dan kebijakan moratorium,
Padahal, dalam amatannya, toko modern berjaringan lainnya justru dibiarkan leluasa masuk.
Mestinya, pemegang kebijakan menjelaskan moratorium itu sampai kapan dan dengan alasan pertimbangan yang masuk akal, logis dan bukan mengada-ada.
Jika alasannya, toko modern bakal mematikan toko tradisional, kata Vijay dinilai hanya akal-akalan. Toko modern itu, dalam pengelolaan, bagaimana bisa menarik pembeli, menjamin kenyamaan berbelanja sehingga mau tidak mau toko harus berbenah ditata dengan baik.
Sekarang, cukup banyak toko-toko yang semula tradisional, tidak teratur penataanya, sekarang bisa lebih bagus dan bersih layaknya toko modern. Tentu hal semacam ini, haruis didukung dan diapresiasi.
Dunia usaha mesti didukung bukan malah dihambat dalam memperoleh izin. Apalagi, dalam waktu dekat pemberlakuan pasar bebas, maka investor atau usaha asing bisa mudah masuk di Bali.
Tidak jelasnya kebijakan itu memberi ruang terjadinya penyalahgunaan dan praktek konspirasi antara pengusaha dan pengusaha seperti jual beli izin.
“Padahal kami dengan 1000 lebih karyawan dan 1500 item lebih produk yang banyak dari produk UKM, tentunya dengan ketidakjelasan kebijakan seperti itu, dunia usaha menjadi sulit berkembang,” sambungnya. (rma)