![]() |
Deputi I Bidang Infrastruktur, Energi, dan Investasi KSP, Febry Calvin Tetelepta/Dok kSP |
Jakarta – Realisasi penyerapan BBM Bersubsidi untuk nelayan di tahun
2020 hanya mencapai 500.000 kilo liter atau sekitar 26 % dari total kuota.
Untuk itu Kantor Staf Presiden (KSP) mendorong penyaluran BBM Bersubsidi untuk
nelayan agar berjalan optimal. KSP melihat masih ada problem terkait akurasi
data penerima sehingga serapannya masih rendah.
Deputi I Bidang Infrastruktur, Energi, dan Investasi KSP, Febry Calvin
Tetelepta menyatakan pihaknya terus menjembatani komunikasi antar
Kementerian/Lembaga agar mengoptimalkan mekanisme penyalurannya.
“Kita mendorong agar penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan ini lebih
optimal, dan perlu terobosan tata kelola khususnya akurasi data penerima,”
ujar Febry dalam keterangan tertulis di Gedung Bina Graha Jakarta, Jumat
(16/7/2021).
Febry menambahkan, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap para nelayan,
KSP perlu memastikan masalah yang tersumbat bisa dipecahkan. Apalagi sektor
kemaritiman menjadi salah satu yang menjadi prioritas pembangunan Pemerintahan
Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Sejak tahun 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengusulkan
1,9 juta kilo liter kuota subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) minyak solar kepada
seluruh kapal nelayang yang berdaya tampung hingga 30 GT.
Untuk mendapatkan BBM bersubsidi ini pun nelayan harus terdaftar di sistem KKP
serta telah diverifikasi datanya dan memperoleh rekomendasi dari Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) setempat.
Saat ini pemerintah juga sedang berupaya mengoptimalkan pembangunan Maluku
sebagai Lumbung Ikan Nasional (MLIN). Harapannya, subsidi BBM untuk para
nelayan di Maluku juga bisa sampai.
“Sebagai salah lokus pilot project ini, kita harus pastikan di Maluku yang
dicanangkan sebagai Lumbung Ikan Nasional, tidak ada masalah soal penyaluran,”
ujar Febry.
Diperlukan penyederhanaan mekanisme pengajuan BBM bersubsidi. Menurutnya,
salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya akurasi data yang berujung pada
rendahnya angka penyaluran BBM bersubsidi adalah jumlah komponen persyaratan
yang harus dilengkapi oleh nelayan terlalu banyak dan rumit.
“Syarat memperolehnya mesti disederhanakan menggunakan Kartu KUSUKA dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), maka itulah yang perlu kita dorong
dan pastikan percepatannya,” imbuhnya.
Diharapkan, semua untuk dapat menyusun timeline kapan mulai pelaksanaan pilot
proyek, target penyerapan BBM bersubsidi untuk nelayan, dan percepatan
pendataan Kartu KUSUKA.
“Sehingga, dapat melakukan monitoring dan evaluasi dengan optimal,” tandasnya.
Selain itu, kendala lain yang dihadapi oleh pemerintah dalam penyaluran BBM
Bersubsidi bagi nelayan adalah Masih banyaknya nelayan yang melakukan
pembelian BBM bukan di SPBUN (SPBU Nelayan) melainkan di SPBU Reguler.
Akibatnya, realisasi penyalurannya tidak tercatat sebagai realisasi Konsumen
Pengguna Usaha Perikanan.
PT. Pertamina (Persero), sebagai perusahaan penyedia bahan bakar minyak bumi
dan gas, menyatakan kesanggupannya untuk terus melakukan penambahan titik
pelayanan SPBUN di sentra-sentra nelayan sesuai rekomendasi KKP.
Dengan demikian, nelayan tidak perlu mengambil BBM di SPBU yang lokasinya
berjarak cukup jauh. (rhm)