Diskusi Pustaka Bentara” Papua dalam Timbang Pandang Budaya |
DENPASAR – Persoalan sosial kutural yang mengemuka di Tanah Papua tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan yang bersifat parsial, melainkan memerlukan kebijakan yang bersifat holistik.
Pendekatan holistik diperlukan mengingat bentangan wilayahnya yang sedemikian luas, terdiri dari pegunungan, lembah, rawa, dan pesisir.
Demikian pandangan para pakar dan aktivis seperti disampikan Dr. I Ngurah Suryawan, Nazrina Suryani MA, PhD, dan I Wayan ‘Gendo’ Suardana pada Pustaka Bentara ‘Papua Dalam Timbang Pandang Budaya’ di Bentara Budaya Bali (BBB), Ketewel, Gianyar.
Diskusi juga membedah buku kumpulan esai terkini karya I Ngurah Suryawan bertajuk “Papua Versus Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya” (Labirin, 2017). Dalam pandangan Suryawan, lulusan Antropologi Universitas Udayana yang kini Dosen Universitas Negeri Papua, menguraikan 3 pokok utama gagasannya.
Pertama membahas tentang peta sosiokultural studi-studi kebudayaan Papua dan produksi kuasanya. Kedua, mengulas tentang kondisi Papua kontemporer yang berhubungan dengan pemekaran daerah berikut pembagian kekuasaan yang terjadi.
Bahasan ketiga, menggambarkan siasat orang-orang Papua menghadapi kerasnya kehidupan keseharian selama ini.
“Terdapat berbagai fenomena dan realitas sosial masyarakat Papua. Di sana tergambarkan bahwa masyarakat Papua memiliki mobilitas tinggi, terinterkoneksi dengan etnik budaya lain berikut keragaman budayanya, serta relasi mereka dengan kuasa investasi global,” beber Suryawan, Senin (10/7/2017).
Kata Suryawan, Papua sangat kompleks sekali, masalah-masalahnya pun sangat beragam. Di satu sisi mereka memiliki kekayaan yang luar biasa. Di sisi yang lain, ada permasalahan soal lokalisir, seolah Papua dianggap eksotis.
“Seringkali pula muncul stigma tentang Papua tanpa diimbangi pengetahuan yang bersifat menyeluruh tentang konteks Papua itu sendiri,” ungkap Suryawan yang sempat menempuh program penelitian postdoctoral sedari tahun 2016 tentang ekologi budaya orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua dalam skema ELDP London dan Australian National University (ANU).
Ia kini juga menjadi research fellow di KITLV dan Universitas Leiden 2017 untuk menulis penelitiannya tentang terbentuknya elit kelas menengah di pedalaman Papua.
Sementara Nazrina Suryani menilai buku Papua vs Papua memiliki bobot antropologi politik yang kuat dan ditujukan untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda, bukan hanya yang berasal dari Papua, tetapi juga mereka yang peduli.
“Lewat buku ini saya melihat upaya penulis untuk mencermati problematik yang kerap terjadi berulang di Tanah Papua, dampak langsung atau tidak dari pemekaran wilayah, investasi yang bersifat elitis, merebaknya HIV-Aids, serta masalah keseharian lainnya yang menjauhkan rakyat Papua untuk lebih emansipatoris dan transformatif,” ungkap Nazrina.
Wayan ‘Gendo’ Suardana, mengungkapkan bahwa buku Papua Versus Papua terdiri dari esai-esai yang tajam, kiranya perlu ditindaklanjuti dengan penelitian dan kajian yang lebih mendalam, sehingga mendapatkan gambaran tentang problematik Papua yang lebih holistik, tidak parsial.
Gendo juga menyoroti perihal pemekaran wilayah dan otonomi daerah yang dalam implementasinya kerap menimbulkan masalah di lapangan serta berdampak buruk bagi kehidupan sosial kultural masyarakat setempat.
UU tentang Desa bisa menimbulkan konflik bila tidak disertai suatu pemahaman dan pendekatan yang holistik dalam menetapkan kebijakan.
Buku ini diberi kata pengantar Manuel Kaisiepo, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada Kabinet Gotong Royong yang juga pernah berkarir sebagai wartawan Kompas pada tahun 1984-2000.
Manuel Kaisiepo dalam tulisannya menilai, bahwa kajian-kajian etnografi dalam buku Papua vs Papua ini dengan sangat baik merekam dan menguraikan fenomena realitas sosial yang menjadi paradoks di Papua. (rhm)