Denpasar – Suasana Ruang Priyono, Kampus FIB Denpasar, pada Jumat, 7 Maret 2025, terasa istimewa dengan kehadiran Prof. Dr. I Wayan Suka Yasa, M.Si.
Wayan Suka Yasa, seorang guru besar dari Unhi Denpasar dan alumni Prodi Sastra Jawa Kuno FIB Unud, hadir sebagai narasumber dalam kuliah umum bertajuk ‘Bahasa dan Sastra Tutur’.
Sebagai akademisi yang sangat mencintai sastra Jawa Kuno, khususnya sastra tutur, Prof. Suka Yasa telah menghasilkan berbagai karya penting, seperti ‘Bhuwana Kosa’ dan ‘Gita Kandotama’.
Menurutnya, kesusastraan tutur memegang peranan krusial dalam pembentukan khazanah kesusastraan Jawa Kuno. Istilah ‘tutur’ merujuk pada ‘daya ingat’, ‘ingatan’, dan ‘kesadaran’. Secara spesifik, sastra tutur didefinisikan sebagai kesusastraan Jawa Kuno yang mengandung doktrin religius. ‘Matutur’ memiliki makna mengingat, mengenang, dan/atau mencapai kesadaran.
Dalam konteks Hindu-Buddha, teks tutur berfungsi sebagai teks tattwa (filsafat) yang menjadi landasan pelaksanaan ritual keagamaan.
Beberapa contoh teks tutur yang memuat ajaran Siwa antara lain Bhuwana Kosa, Ganapati Tattwa, Jnanasidhanta, Dharma Patanjala, dan Dharma Sunya, sedangkan teks yang bernuansa Buddhisme adalah Sang Hyang Kamahayanikan dan Kunjarakarna.
Dalam perspektif agama, tutur atau tattwa dianalogikan sebagai kuning telur, susila (perilaku) sebagai putih telur, dan acara (upacara) sebagai cangkang telur. Tutur tidak lagi berfokus pada fenomena, melainkan pada esensi di balik fenomena tersebut.
Ia mengungkapkan bahwa teks tutur memiliki keunikan, yaitu perpaduan bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. “Semakin kaya bahasa Sanskerta, semakin kuno teks itu. ‘Bahasa Jawa Kuno bagaikan jembatan, menjelaskan makna istilah-istilah Sanskerta dalam teks tutur,’ tuturnya.
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., Koordinator Prodi Sastra Jawa Kuno, menyampaikan bahwa kuliah umum ini adalah jendela bagi mahasiswa untuk memperluas cakrawala ilmu. Kehadiran para ahli diharapkan dapat menyuburkan semangat penelitian di kampus.
‘Prof. Suka Yasa adalah kebanggaan kami, alumni yang kini menjadi guru besar dan sangat mendalami sastra tutur,’ katanya dengan bangga.
Ia menegaskan peran esensial bahasa Jawa Kuno dalam khazanah kesusastraan Nusantara. Sebagai contoh, dalam kesusastraan Bali, bahasa Jawa Kuno memberikan dimensi spiritual yang mendalam, sehingga dikenal istilah ‘ngewayahang basa’ yang merujuk pada penguatan karakter bahasa.
Oleh karena itu, Program Studi ini didirikan pada tahun 1958 dengan tujuan untuk melestarikan kebudayaan Nusantara, terutama yang tersimpan di Pulau Bali.
Selanjutnya, Suarka menambahkan bahwa sastra Jawa Kuno Tutur memiliki relevansi yang signifikan bagi generasi milenial, khususnya dalam menghadapi dampak negatif dari dunia maya yang secara masif mempengaruhi pola pikir generasi tersebut.
Sastra Jawa Kuno Tutur memiliki potensi untuk membangun kesadaran individu agar terbebas dari belenggu kapitalisme dan hedonisme yang saat ini mendominasi ideologi generasi milenial. ***