![]() |
ilustrasi/net |
KAIMANA – Wacana perlunya amandemen UUD 1945 dalam upaya penguatan kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kembali digulirkan setelah dalam pelaksanaan tugas dan mengartikulasikan aspirasi maupun kepentingan daerah tidak menuai hasil optimal.
Saat menyampaikan pandangan dalam dialog publik “Urgensi Penataan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Melalui Perubahan UUD NRI Tahun 1945” di Kaimana 1 Juni lalu, anggota DPD RI Provinsi Papua Barat Mervin I.S. Komber menegaskan perlunya penguatan kembali lembaga DPD.
Hal itu perlu ditegaskannya mengingat berkaitan dengan penguatan DPD RI, amat disayangkan apabila dari sisi pelaksanan tugas tidak sesuai harapan.
Dia menyebutkan, dalam kurun waktu Oktober 2004 sampai dengan Agustus 2016 DPD telah mengajukan 68 (enam puluh delapan) RUU, 245 (dua ratus empat puluh lima) Pandangan dan Pendapat, 76 (tujuh puluh enam) Pertimbangan dan 184 (seratus delapan puluh empat) hasil pengawasan.
Hasil tersebut terkesan sia-sia belaka karena artikulasi hasil yang dicapai tidak maksimal. Belum lagi aspirasi daerah yang datang kepada DPD RI. Pada tahun sidang 2015-2016 saja DPD RI menerima 7621 (tujuh ribu enam ratus dua puluh satu) permasalahan daerah.
“Karenanya, penguatan DPD melalui amandemen UUD 1945 merupakan jalan konstitusional untuk mendorong penguatan peran DPD RI dan tentunya peran daerah,” tegas Senator Cendrawasih, sapaannya.
Kata Mervin, sejak awal, semua anggota DPD RI berketetapan dapat membangun DPD RI sebagai lembaga yang terhormat, sebagai lembaga perwakilan daerah, lembaga yang responsif dan aspiratif.
Sebagai lembaga, tentunya diharapkan mampu meluruskan sejarah perjalanan bangsa untuk tetap tunduk dan patuh kepada norma-norma dasar di dalam kehidupan bernegara yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional.
Sebagai sebuah perkembangan ketatanegaraan yang berhasil didorong oleh DPD, MPR telah mengeluarkan Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2014 Tentang Rekomendasi MPR 2009-2014, yang antara lain merekomendasikan dilakukannya penataan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, dimana salah satu poin rekomendasi adalah melakukan amandemen UUD 1945.
Perkembangan ini telah ditindaklanjuti oleh MPR dengan dilakukannya kajian oleh Badan Pengkajian MPR periode 2014-2019.
Dimana perkembangan pembahasan dalam Badan Pengkajian MPR, menganggap agenda Amandemen UUD 1945 sangat strategis untuk merekonstruksi kewenangan MPR dan menetapkan semacam “GBHN” sebagai role model pembangunan nasional.
“Wacana tersebut sangat penting dilakukan dengan tidak mengesampingkan materi perubahan lainnya, seperti rekonstruksi lembaga perwakilan yaitu DPR dan DPD, sehingga mewujudkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antarcabang kekuasaan negara maupun antarlembaga negara dalam cabang kekuasaan legislatif,” imbuhnya.
Pihaknya berharap, lewat dialog itu menghasilkan konsep pemikiran dari daerah, materi yang perlu diangkat dalam usul amandemen UUD 1945, dan mengenai bentuk ideal DPD RI sebagai lembaga yang mengemban tugas mengawal kepentingan daerah di tingkat nasional.
Menjadi sebuah kesempatan yang sangat strategis, bahwa DPD diberi kepercayaan sebagai Ketua Badan Pengkajian MPR, yang salah satu ruang lingkup tugasnya adalah melakukan pengkajian terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, sehingga konsep pemikiran dari daerah dapat langsung dikawal oleh DPD RI dalam kapasitasnya sebagai anggota MPR.
DPD melalui BPKK juga berharap bahwa kegiatan Dialog Publik akan menjadi indikator bahwa upaya DPD dalam melakukan penataan sistem ketatanegaraan, yang saat ini juga tengah berproses di MPR diikuti dan dicermati oleh seluruh masyarakat di daerah.
“Untuk itu masyarakat diharapkan, secara aktif mendorong penataan sistem ketatanegaraan melalui perubahan UUD 1945,” demikian Mervin. (rhm)