Jakarta– Pemerintah Indonesia telah merombak aturan pajak untuk transaksi aset kripto, mencerminkan evolusi aset digital tersebut dari komoditas menjadi aset keuangan.
Melalui tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mulai efektif 1 Agustus 2025, pemerintah berupaya menciptakan kerangka perpajakan yang lebih jelas dan konsisten.
Perubahan paling signifikan adalah penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto.
Kebijakan ini merupakan dampak langsung dari perubahan status aset kripto yang kini disetarakan dengan surat berharga oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
PPh Final Tetap Jadi Kewajiban
Meski PPN ditiadakan, pelaku pasar kripto tetap diwajibkan membayar Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 22 atas penghasilan dari transaksi mereka.
Besaran tarif PPh ini ditetapkan sebagai berikut:
0,21% dari nilai transaksi bruto jika dilakukan melalui platform perdagangan lokal (PPMSE Dalam Negeri).
1% dari nilai transaksi bruto jika dilakukan melalui platform luar negeri (PPMSE Luar Negeri).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Rosmauli, menjelaskan, aturan baru ini bukan merupakan pajak baru, melainkan penyesuaian yang diperlukan untuk mengikuti perkembangan ekosistem keuangan digital.
“Pengaturan ini bertujuan menciptakan kepastian hukum dan konsistensi perlakuan pajak sejalan dengan karakteristik dan status baru aset kripto,” ujarnya.
Selain itu, PMK terbaru juga memperbarui definisi sejumlah istilah kunci, seperti Pedagang Aset Keuangan Digital (PAKD) dan Penyelenggara Bursa Aset Keuangan Digital.
Langkah ini diharapkan dapat memberikan kejelasan lebih lanjut bagi seluruh ekosistem aset kripto, mulai dari investor hingga penyelenggara platform, seiring dengan semakin terintegrasinya aset digital ke dalam sistem keuangan nasional.***