KabarNusa.com – Indonesia Energi Watch (IEW) mendesak Pertamina mengkaji kembali kerja sama jual beli minyak mentah dengan Sonangol EP yang cenderung menutup diri.
Menurut Koordinator Indonesia Energi Watch (IEW) Syarief Rahman Wenno, gebrakan Presiden Jokowi guna memperbaiki sektor migas di Indonesia dengan menjalin kerja sama migas dengan Angola, sebuah negara di Afrika, layak diapresiasi.
Seperti diketahui publik, Presiden Jokowi menandatangani perjanjian kerjasama dengan Wakil Presiden Republik Angola Manuel Domingos Vicente. Kerjasama dijalin antara Pertamina dengan BUMN Angola, Sonangol.
Pola G to G kedua negara akan difollow up oleh Pertamina dan Sonangol EP dengan skema B to B, patut diapresiasi karena memangkas keberadaan trader atau broker yang selama ini mendominasi peta impor migas Indonesia
Hanya saja, belakangan merebak kesimpangsiuran informasi mengenai kerjasama Pemerintah Jokowi dengan perusahaan Sonangol terkait impor minyak menimbulkan beragam spekulasi.
Sebuah informasi menyebutkan, Sonangol adalah perusahaan minyak milik Beijing yang bermarkas di Angola.
Disebutkan, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, harga dari Sonangol lebih murah 15 dolar per barel, sehingga ada penghematan hingga 25 persen untuk impor crude oil.
Hanya saja, Sonangol dilaporkan mengirim surat konfirmasi pada 20 November 2014 yang berjudul Counter To The Proposed Contractual Volume 2015 yang menyatakan, tidak memastikan ada diskon USD 15 perbarel dan memastikan tetap mengacu normal-market price.
Isi surat itu mengungkapkan bahwa Sonangol secara tegas menjawab permintaan Pertamina mengenai diskon 15 dolar dari setiap barel yang dibeli Pertamina tidak dapat diberikan dan masih mengacu ke harga normal minyak dunia.
Keengganan Sonangol EP untuk memberikan potongan harga merupakan sebuah fakta dan pemerintah Indonesia lewat Menteri BUMN dan Menteri ESDM bahwa membeli minyak dengan diskon sekitar 25 persen dibawa market price juga adalah sebuah fakta.
Tidak mungkin dua fakta berseberangan ini benar kedua-duanya pasti salah satunya salah.
“IEW mendesak Pemerintah dan Pertamina wajib hukumnya mengkaji kembali kerja sama jual beli minyak mentah antara Pertamina dengan Sonangol EP yang cenderung menutup diri,” tegasnya dalam rilis diterima KabarNusa.com, Minggu (7/12/2014).
Proses kerjasama harus transparan karena terkesan ada kepentingan lain yang bermain di balik rencana itu.
Terlebih siapa-siapa operator lapangan yang menghubungkan lahirnya kerjasama tersebut terutama pengusaha berinsial “SP” yang disebut-sebut pemain utama yang memiliki hubungan kerjasama sejak lama antara PT Surya Energi milik Paloh dengan Sonongol EP.
“Padahal rencana besar pemerintah Jokowi adalah pemberantasan mafia migas,” sambungnya.
Dikhawatirkan, jika dibiarkan maka pemberantasan mafia migas yang digalakkan pemerintah Jokowi sekedar lip service belaka.
Untuk itu, perbaikan sektor migas secepatnya dilakukan dengan menambah pembangunan kilang minyak baru dan ini harus menjadi langkah prioritas pemerintahan Jokowi-JK.
Sejak jaman Presiden Soeharto, jumlah kilang minyak di Tanah Air tidak bertambah, bahkan beberapa kilang merupakan warisan zaman Belanda.
Saat ini jumlah kilang minyak yang ada di Indonesia hanya ada enam yaitu Kilang Dumai, Kilang plaju, Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Sorong.
Semua kilang tersebut dimiliki oleh Pertamina. terakhir, perusahaan pelat merah tersebut membangun kilang Balongan. Semua kilang tersebut hanya mampu memproduksi minyak sebanyak 700 ribu bph hingga 800 ribu bph.
“Konsumsi bahan bakar minyak Indonesia saat ini berada dilevel 1,5 juta bph hingga 1,6 juta bph dan itu terus meningkat dari tahun ke tahun,” tutup Syarief. (rma)