PHK Sepihak Karyawan Yamaha Music, Ujian Komitmen Presiden Prabowo terhadap Keadilan Buruh

9 Juli 2025, 08:13 WIB

Jakarta – Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap dua pengurus serikat pekerja PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) yaitu Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin Zaini Miftah, menjadi simbol penting dalam dinamika hubungan industrial Indonesia. Keduanya diberhentikan setelah aktif memperjuangkan hak-hak buruh dalam forum Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2024.

Padahal, Slamet Bambang hanya tersisa dua tahun menuju masa pensiun setelah 28 tahun masa bakti di perusahaan. Namun, yang membuat publik semakin terusik adalah dugaan bahwa manajemen perusahaan tidak menghormati proses mediasi yang difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, bahkan mengabaikan arahan langsung dari Bupati Bekasi dan pejabat Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

Tindakan seperti ini menunjukkan resistensi terhadap institusi negara yang seharusnya menjadi wasit dalam perselisihan industrial.
Mengabaikan Negara, Mengorbankan Buruh
Langkah manajemen yang tetap melakukan PHK di tengah upaya mediasi tripartit mengindikasikan adanya sikap unilateral dan arogansi korporasi.

Bila penyelesaian damai dan legal yang ditawarkan negara saja diabaikan, maka ini menjadi preseden berbahaya. Pertanyaannya: apakah ada motif tersembunyi di balik manuver ini?.

Sejumlah elemen buruh menduga ada kemungkinan skenario jangka panjang: upaya mengarah ke permohonan pailit atau restrukturisasi bisnis dengan menjadikan buruh sebagai kambing hitam.

Seakan, pihak manajemen YMMA menggambarkan buruh sebagai pengganggu stabilitas perusahaan, manajemen bisa saja mengkonstruksi narasi bahwa tekanan serikat pekerja membuat kondisi keuangan perusahaan tidak sehat—padahal yang diperjuangkan hanyalah hak normatif.

Jika benar motif ini ada, maka patut diduga ada upaya untuk menghindari kewajiban hukum, termasuk kewajiban perpajakan dan pembayaran pesangon sesuai Undang-Undang. Skema semacam ini tidak hanya mencederai buruh, tapi juga merugikan negara dan menciptakan distrust terhadap iklim usaha.

Presiden Prabowo Sudah Bicara Jelas

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2025, menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Ia menegaskan bahwa “Tidak ada pembangunan nasional tanpa keadilan bagi para pekerja. Tidak ada kemajuan bangsa jika para buruh hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan”.

Presiden juga menegaskan pentingnya menciptakan ekosistem kerja yang sehat, di mana investor dihargai, tetapi pekerja juga dilindungi dan dihormati.

Pada forum dialog nasional ketenagakerjaan pada April 2025, ia menambahkan bahwa “Saya ingin memastikan, dalam setiap investasi yang masuk, hak-hak pekerja tetap dijaga. Mereka bukan beban, mereka mitra negara”.

Jika demikian, maka langkah YMMA tidak hanya bertentangan dengan hukum positif, tapi juga bertolak belakang dengan arah kebijakan Presiden yang secara eksplisit menjadikan keadilan sosial sebagai poros pembangunan ekonomi.

Diduga Langgar UU Cipta Kerja

Pemecatan dua pengurus serikat pekerja diduga kuat melanggar Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang menegaskan larangan PHK terhadap buruh yang menjalankan aktivitas serikat. Jika dilanggar, maka sesuai pasal yang sama, PHK itu batal demi hukum dan pekerja harus dipekerjakan kembali.

Selain melanggar hukum nasional, tindakan ini juga berpotensi menyalahi Konvensi ILO No. 98 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 18 Tahun 1956, tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama.

Buruh Bukan Ancaman, Tapi Mitra

Anggapan bahwa perjuangan buruh menghambat investasi adalah narasi usang yang harus ditinggalkan. Justru sebaliknya, kepastian hukum dan perlindungan terhadap pekerja merupakan bagian dari ease of doing business dalam iklim demokrasi ekonomi modern.

Hubungan industrial yang sehat dibangun dari keberanian negara menegakkan keadilan. Bila praktik semena-mena semacam ini dibiarkan, maka kepercayaan buruh terhadap pemerintah akan terkikis, dan yang lebih luas: kepercayaan rakyat terhadap negara hukum akan melemah.

Berharap Negara Hadir

Kasus Slamet dan Wiwin bukan hanya soal PHK. Ini adalah ujian integritas sistem ketenagakerjaan nasional sekaligus batu uji terhadap visi besar Presiden Prabowo Subianto tentang keadilan ekonomi.

Presiden sudah berbicara dengan tegas, dan kini publik menanti tindakan nyata. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan jangka pendek perusahaan yang menafikan hak pekerja dan meremehkan kewenangan institusi negara.

Bila tidak segera disikapi, ini bukan hanya persoalan dua buruh, melainkan ancaman terhadap keberlangsungan hubungan industrial yang berkeadaban.***

Berita Lainnya

Terkini