Made Mudarta (KabarNusa.com) |
KabarNusa.com – Desakan dikembalikannya pemilukada lewat DPRD kian menguat karena sejalan dengan sila keempat Pancasila dan bisa menekan anggaran hingga 70 persen dibading dengan menggelar pemilukada langsung.
“Pilkada lewat DPRD atau tak langsung sesuai dengan sila keempat Pancasila dan sesuai kebudayaan Indonesia,” tutur Ketua DPD Partai Demokrat Bali Made Mudarta ditemui di kantornya di Renon, Denpasar, Selasa (16/9/2014).
Disebutkan dalam UUD 1945 jika kepala daerah dipilih secara demokratis. Demokrasi yang dikembangkan Indonesia sesuai sila keempat Pancasila yakni melalui musyawarah mufakat.
Bahkan Amerika Serikat maupun Inggris memakai sistem perwakilan tidak langsung.
“Kami telah menyampaikan pandangannya ke Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengimplementasika pilkada di daerah Bali,” sambungnya.
Kata dia, yang perlu juga digarisbawahi dengan pilkada lewat DPRD akan menghemat anggaran APBN dan APBD hingga 70 persen.
“Kandidat tidak perlu banyak keluar uang. Biasanya, rata-rata mereka setidaknya keluar uang kocek Rp15 miliar lebih untuk kampanya dan biaya lainnya,” tukas Mudarta.
Dia tidak mengkhawatirkan, jika pilkada akan dijadikan lahan politik uang sebab sistem pengawasan dan mekanisme kontrol untuk dewan telah jelas.
“Saya kira cukup banyak yang bisa mengontrol kinerja dewan mulai KPK, PPATK, BPK, media dan masyarakat yang akan mengawasi mereka,” tutupnya.
Di pihak lain, sejak pemilukada langsung digelar di Bali sejak sembilan tahun terakhir lima puluh persen lebih mereka mengakhiri karir dibalik bui lantaran tersandung kasus korupsi.
“Sembilan tahun terakhir yang kami amati begitu, banyak bupati di Bali terjerat kasus korupsi,” sebut pengusaha suskes asal Kabupaten Jembrana itu,
Beberapa mantan bupati yang dijebloskan ke bui seperti Bupati Jembrana Gede Winasa, mantan Bupati Buleleng Putu Bagiana, mantan Bupati Bangli Made Arnawa dan mantan Bupati Klungkung Wayan Candra.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa, pilkada langsung tidak memberi harapan yang diinginkan rakyat. Rakyat yang memimpikan pemimpin yang bersih dan memperjuangkan aspirasi mnereka harus menelan kekecewaan atas pemimpin yang dipilih secara langsung.
Sementara jika dibandingkan dengan masa orde baru yang berjalan puluhan tahun justru relatif sedikit bupati atau pemimpin daerah yang terjerat korupsi dibanding sekarang.
“Bayangkan sejak pilkada langsung ini ada 332 kepala daerah terjerat kasus korupsi, makanya pilkada langsung ini hasilnya negatif sehingga harus dievaluasi,” sambungnya. (kto)