Nusa Dua – Sorotan tajam pada isu penguatan modal, klasterisasi bisnis, dan transisi akuntansi global mendominasi perhelatan akbar Indonesia Rendezvous (IR) ke-29 yang diselenggarakan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI).
Bertempat di Bali International Convention Centre, forum strategis yang berakhir hari ini tidak hanya menjadi ajang pertemuan industri, tetapi juga panggung “uji kekuatan” bagi sektor asuransi dan reasuransi nasional di bawah tekanan regulasi baru yang ambisius.
Dengan tema “Empowering Trust: Connecting the World of Insurance and Reinsurance,” IR ke-29 sukses memposisikan Indonesia sebagai sentra diskusi global, menarik lebih dari 1.000 delegasi dari 20 negara, meningkat drastis dari 14 negara tahun sebelumnya.
POJK 23/2023: Konsolidasi Wajib Dimulai
Fokus utama perdebatan adalah implementasi Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 mengenai peningkatan ekuitas minimum.
Regulasi ini, yang mewajibkan perusahaan asuransi untuk menambah modal secara signifikan hingga batas waktu 2026 dan 2028, merupakan langkah paksa regulator untuk menyehatkan dan mengonsolidasikan industri.
Hal itu terungkap saat digelar dalam Konferensi pers dihadiri
Cipto Harto – Direktur Eksekutif AAUI, Trinita Situmeang – Wakil Ketua AAUI, Budi Herawan- Ketua AAUI, Ogi Prastomiyono – Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan Muhammad Iqbal – Wakil Ketua AAUI.
Kepala Eksekutif Pengawas PPDP OJK, Ogi Prastomiyono, yang hadir dalam panel eksekutif, secara eksplisit mendesak industri untuk bergerak cepat.
Aspirasi yang disuarakan para pelaku usaha menyangkut dua poin krusial:
Tantangan Pemenuhan Ekuitas: POJK 23/2023 telah menjadi alarm bagi sejumlah perusahaan untuk segera mencari suntikan modal atau melakukan konsolidasi.
Klasterisasi Bisnis Berbasis Ekuitas (KPPE): Pembahasan tentang Rancangan Surat Edaran OJK (SEOJK) mengenai KPPE kian mendesak, sebab klasterisasi ini akan menentukan lini usaha dan kapasitas risiko yang boleh diambil perusahaan, membagi secara tegas mana perusahaan dengan modal kuat dan mana yang tidak.
Transisi Akuntansi dan Profitabilitas Sejati
Selain permodalan, industri juga menghadapi tantangan teknis yang fundamental, yaitu transisi ke PSAK 117 (adopsi IFRS 17).
Standar akuntansi global yang mulai berlaku ini memaksa perusahaan untuk menghitung liabilitas dan pendapatan dengan cara baru, yang dalam banyak kasus dapat memangkas laba awal dan berdampak langsung pada posisi ekuitas.
Para Direktur Keuangan (CFO) dan Direktur Teknik menyoroti perlunya penguatan fungsi aktuaria. Pesan intinya jelas: di bawah PSAK 117, profitabilitas tidak lagi bisa disamarkan, melainkan harus dicerminkan dari teknikal pricing yang sehat dan manajemen risiko yang ketat. Ini adalah kunci untuk menjaga solvabilitas jangka panjang.
Sebagai respons terhadap tantangan regulasi, AAUI mendorong dua solusi utama yang dibahas intensif di IR ke-29:
Akselerasi Digitalisasi: Pemanfaatan teknologi tidak hanya untuk efisiensi, tetapi juga untuk menciptakan model bisnis baru yang lebih profitabel dan berkelanjutan.
Sinergitas Ekosistem Finansial: Membangun kolaborasi yang lebih erat antarlembaga keuangan, termasuk bank dan perusahaan penjaminan, untuk memperluas penetrasi asuransi dan menciptakan ketahanan kolektif.
Dengan berakhirnya Indonesia Rendezvous, bola panas kini berada di tangan pelaku industri. Komitmen terhadap pemenuhan ekuitas, adaptasi cepat terhadap standar akuntansi global, dan penguatan tata kelola bukan lagi sekadar pilihan, melainkan mandat kritis untuk menjamin ketahanan dan peran strategis industri asuransi dalam menopang perekonomian nasional. ***

