Denpasar – Dinas Kesehatan Kota Denpasar merilis hasil pemetaan hotspot dan populasi kunci untuk tahun 2025 yang angka total populasi kunci untuk WPS, LSL, dan faktor pembelian ARV menunjukkan adanya peningkatan
Populasi Kunci sering disebut juga Key Populations dalam konteks HIV/AIDS mengacu pada sekelompok orang yang secara signifikan lebih mungkin terpapar atau menularkan HIV.
Hal itu terungkap saat Temu Media Kedua Dalam Rangka Publikasi Progres Percepatan Pelaksanaan Program Kontrak Sosial di Kota Denpasar Senin, 27 Oktober 2025
Drh. I Made Suprapta, MMT Technical Officer SSR Yayasan Kerti Praja memandu diskusi.
Data terbaru menunjukkan total 3.259 populasi kunci HIV/AIDS berhasil diidentifikasi di 227 lokasi hotspot, sebuah angka yang mencatatkan peningkatan pada beberapa kelompok dibandingkan tahun sebelumnya.
Bidang P2P Dinas Kesehatan Kota Denpasar membeber hasil pemetaan yang dilakukan secara terbatas.
Meski demikian pemetaaan berhasil mengidentifikasi 227 titik hotspot dan total 3.259 populasi kunci. Angka ini mencakup berbagai kelompok berisiko tinggi penularan.
Pemetaan ini penting untuk membatasi penyebaran penyakit menular, khususnya HIV/AIDS.
Secara rinci, pemetaan 2025 membagi populasi kunci dalam beberapa kategori dengan jumlah sebagai berikut:
LSL (Laki-laki Seks Laki-laki): Terdata 169 hotspot dengan populasi kunci sebanyak 2.608 orang.
WPS (Wanita Pekerja Seks): Hotspot kunci (WPS) terpetakan sebanyak 693 titik.
RSL (Remaja Seks Laki-laki): Terdata 45 hotspot dengan populasi kunci 535 orang.
Faktor Pembelian (Komunitas): Teridentifikasi 13 faktor dengan populasi kunci 76 orang.
Penampung: Teridentifikasi 6 faktor dengan populasi 40 orang
Hasil pemetaan ini menunjukkan adanya peningkatan populasi kunci pada kelompok WPS, LSL, dan faktor pembelian dibandingkan hasil pemetaan terakhir pada tahun 2023.
Peningkatan ini menjadi sinyal penting bagi upaya pencegahan dan pengendalian di wilayah tersebut
Sebaliknya, populasi penampung mencatat penurunan signifikan. Pada pemetaan 2023, ditemukan 87 penampung, dan kini turun menjadi 40 orang pada pemetaan 2025.
Meskipun pemetaan dilakukan dengan keterbatasan peserta yang hadir, data yang didapatkan diharapkan menjadi dasar kuat bagi Dinas Kesehatan untuk merumuskan kebijakan intervensi dan program penjangkauan yang lebih tepat sasaran di tahun 2025.
Upaya selanjutnya akan difokuskan pada penguatan program di hotspot yang mencatatkan peningkatan populasi kunci.
Diketahui, istilah seperti WPS, LSL, dan RSL umumnya digunakan dalam konteks program kesehatan masyarakat, khususnya terkait HIV/AIDS.
Sementara itu, Ketua Yayasan Spirit Paramacitta Bali, Putu Utami, menyoroti tantangan terbesar dalam pengobatan Orang dengan HIV (Odhiv) adalah masalah kepatuhan konsumsi obat Antiretroviral (ARV).
Menurut Utami, ARV harus diminum setiap hari untuk menekan virus HIV, dan ketidakpatuhan dapat menyebabkan virus menjadi kebal terhadap obat.
Utami menjelaskan, salah satu kendala utama yang dihadapi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mendampingi Odhiv adalah kondisi pasien yang merasa diri sehat setelah mengonsumsi obat.
“Diberi obat, merasa dirinya sehat, obat tidak diminum. Malah, ada obatnya diambil, sampai di rumah obatnya dibuang,” ujar Utami.
Kondisi ini juga terjadi pada ibu hamil yang wajib mengonsumsi ARV. Lebih lanjut, ia menyebut banyak Odhiv yang mengalami denial saat konseling, bahkan ada yang merasa perilakunya tidak berisiko.
Menurut Utami, ketidakpatuhan ini, yang berujung pada putus obat, justru memiliki risiko yang lebih tinggi.
Kata dia, upaya layanan kesehatan sudah cukup bagus, di mana petugas telah berupaya menjelaskan dan meyakinkan Odhiv agar tidak putus obat.
Namun, ia menekankan pemberian obat tanpa konseling yang maksimal bisa menjadi penyebab banyak kasus putus obat. ***

