Prof Ngurah Mahardika: Buka Pariwisata, Vaksinasi Harus 70 Persen Penduduk Bali

19 Juni 2021, 17:40 WIB
Prof Ngurah mengatakan dengan cakupan vaksinasi sudah 70persen
kenyamanan bagi masyarakat setempat dan juga wisatawan yang datang,
seperti halnya yang sudah terjadi di sejumlah negara maju./ist

Denpasar – Prof Ngurah Mahardika ahli virologi di Universitas Udayana
menyampaikan untuk membuka pariwisata vaksinasi Covid-19 di Provinsi Bali
harus mencapai 70 persen dari jumlah penduduk.

“Cakupan vaksinasi 70persen itu tentu untuk kelompok berisiko, yang berusia 18
tahun atas. Tidak hanya bagi lansia, namun juga diprioritaskan bagi mereka
yang masuk kelompok sosial aktif seperti mahasiswa dan anak-anak SMA,” kata
Prof Mahardika di Denpasar (19/6/2021).

Dia mengatakan, dengan cakupan vaksinasi sudah 70 persen diyakini kasus baru
COVID-19 akan melandai sehingga akan memberi kenyamanan bagi masyarakat
setempat dan juga wisatawan yang datang, seperti halnya yang sudah terjadi di
sejumlah negara maju.

Pada kasus di Inggris, dengan presentase penduduk yang divaksin kurang lebih
50 persen, mereka sudah berhasil mengendalikan kasus.

“Dari yang sebelumnya hingga 70.000 kasus per hari pada Januari, kini menjadi
sekitar 2.000-3.000 kasus per hari,” katanya Prof Ngurah dalam diskusi yang
digelar Forum Peduli Bali.

Bali secepatnya harus mengejar cakupan vaksinasi COVID-19 untuk dosis kedua,
hingga mencapai 50 persen lebih, barulah akan dapat terlihat dampak dari
vaksinasi yang telah dilakukan kata Prof Ngurah.

Selain pentingnya cakupan 70persen vaksinasi, Mahardika mengatakan wisatawan
mancanegara yang datang ke Bali juga harus telah menjalani vaksinasi tahap
kedua.

Wisatawan ketika masuk ke Bali pun harus difilter dengan uji PCR. Tidak bisa
ditawar-tawar hanya menggunakan rapid antibody, rapid antigen ataupun Genose.

“Karena itu akurasinya masih blm bisa di bandingkan dengan pcr atau
sensitivitasnya hanya sekitar 75-80 persen sehingga penanganannya menjadi
tidak maksimal,” ujarnya.

Prof Ngurah mengharapkan pemerintah daerah lebih menggencarkan atau
mengintensifkan 3T yakni test, tresing dan tritman agar penambahan kasus baru
COVID-19 dapat dikendalikan.

“Kasus baru COVID-19 masih sering terjadi karena 3T tidak pernah dilakukan
dengan cara intensif akibat berbagai keterbatasan yang terjadi di lapangan,”
imbuh Prof Ngurah. (lif)

Berita Lainnya

Terkini