Yogyakarta – Ketua Komisi D DPRD DIY, R. B. Dwi Wahyu, melontarkan sejumlah kritik tajam terhadap pelaksanaan program Sekolah Rakyat (SR) di DIY. Dalam jumpa pers yang digelar di kantornya Dwi Wahyu menyoroti minimnya kesiapan teknis dan kelembagaan program yang digadang-gadang sebagai solusi pengentasan kemiskinan ini.
Ia menyoroti belum rampungnya petunjuk pelaksanaan dan teknis (juklak-juknis), kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), serta kolaborasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang dinilai masih jauh dari optimal. “SDM gurunya kan belum beres kita ini. Kolaborasi antara Dinas Sosial, PU, dan Dinas Pendidikan ini sebetulnya belum selesai. Juklak-juknisnya juga belum jadi, bahkan kita di daerah pun masih bingung,” ujarnya lugas.
Di tengah carut marut kesiapan, sebuah fakta mencuat: sebanyak 29 anak peserta program Sekolah Rakyat dikabarkan mengundurkan diri. Dwi Wahyu mengaku belum mengetahui pasti penyebabnya, namun menduga hal ini akibat keraguan orang tua terhadap sistem pendidikan yang belum jelas.
“Saya belum tahu persis kenapa ya. Mungkin masih meragukan,” kata Dwi Wahyu. Ia menambahkan bahwa kemunduran ini bukan semata karena gaya semi-militer, melainkan lebih pada ketidaksiapan SDM yang menjadi inti masalah. Menurutnya, aspek krusial seperti guru, kurikulum, hingga teknis pelaksanaan masih jauh dari kata siap, mengindikasikan bahwa program ini terkesan tergesa-gesa dan minim kajian matang.
Dwi Wahyu juga mengkritik penentuan lokasi Sekolah Rakyat yang saat ini baru ada di Kalasan dan Sonosewu. Ia menilai distribusi ini tidak mencerminkan pemerataan kebutuhan, terutama jika basis program adalah pengentasan kemiskinan.
“Kalau sekolah ini basisnya kemiskinan, memangnya kemiskinan cuma di dua itu? Seharusnya kan di Gunungkidul dan Kulon Progo juga,” tegasnya.
Meski demikian, Dwi Wahyu mengapresiasi ide Sekolah Rakyat, khususnya model pendidikan berasrama (boarding class) yang dinilainya menarik. Namun, ia menekankan perlunya sistem yang matang dan seleksi penerima manfaat yang tepat agar program ini benar-benar menyasar masyarakat prasejahtera. “Dinas Sosial harus betul-betul bisa memfilter mana yang memang layak,” pintanya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya bahasa ibu, khususnya bahasa Jawa, sebagai fondasi pembentukan karakter anak. Menurutnya, degradasi nilai keluarga, termasuk pernikahan dini, turut mengikis peran ibu dan nilai-nilai bahasa dalam pendidikan anak.
“Bahasa Jawa itu sebenarnya punya kekuatan dalam pembentukan karakter, karena masyarakat Jawa pintar memilih kata yang tepat untuk siapa. Itu yang sekarang mulai hilang,” jelasnya.
Terakhir, Dwi Wahyu mengingatkan pentingnya validasi data penerima manfaat. Ia meminta Dinas Sosial untuk lebih selektif dalam menyaring calon peserta guna memastikan program ini tidak menyimpang dari tujuan awal.
“Kekhawatiran saya pada sekolah rakyat, nanti yang masuk justru bukan yang miskin beneran. Maka, Dinas Sosial harus berhati-hati. Jangan sampai yang mampu justru dapat tempat, sementara yang benar-benar miskin tidak terakomodir,” ujarnya khawatir.
Untuk itu, ia mendorong adanya terobosan regulasi serta kerja sama lintas sektor agar program Sekolah Rakyat dapat berjalan maksimal dan tepat sasaran. “Untuk itu semua butuh terobosan dan kerjasama serta regulasi harus mendukung itu agar tepat sasaran,” pungkasnya. ***