Proyeksi Menkeu Sri Mulyani Ekonomi 2022 Tumbuh 5,2 Persen Tidak Realistis

5 Oktober 2021, 21:20 WIB
Ilustrasi/Dok. Mohamed Hassan dari Pixabay

Jakarta– Dalam
kondisi ketidakpastian perekonomian dunia perkiraan yang dibuat Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati pertumbuhan ekonomi Indonesia Tahun 2022 diperkirakan mencapai 5,2% dinilai tidak realistis. 

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori mengungkapkan, tidak masuk akalnya APBN itu kembali diulangi oleh Menkeu dengan
melanjutkan, upaya pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid19 melalui
proyeksi pertumbuhan ekonomi Tahun 2022 diperkirakan mencapai 5,2%. 

Menurutnya, dalam
kondisi ketidakpastian perekonomian dunia, perkiraan yang dibuat Sri Mulyani Indrawati ini, tidaklah cukup realistis.

“Apalagi, tidak adanya
dukungan reformasi struktural perekonomian, perdagangan internasional,
serta risiko ketidakpastian kinerja perekonomian di masa 10 tahun ke
depan,” ungkap Defiyan dalam keterangan tertulisnya kepada Kabarnusa.com, Senin (5/10/2021). 

Apalagi, kinerja ekonomi Tahun 2022 juga akan mengandalkan
topangan  konsumsi masyarakat, investasi, dan juga perdagangan
internasional.

Lebih tidak realistis lagi dan tidak melihat
data sejarah/historis, bahwa stabilitas makroekonomi tersebut disebut
akan menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pada
tahun 2022, yaitu tingkat kemiskinan diharapkan dapat turun kembali pada
kisaran 8,5-9%.

Selanjutnya, tingkat pengangguran terbuka 5,5-6,3%, dan gini ratio
atau rasio ketimpangan akan menurun menjadi 0,376-0,378. Sementara
indeks pembangunan manusia akan meningkat di 73,41-73,46.

Dipihak lain, Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022/APBN 2022 akan menstimulasi perekonomian dengan sasaran (target) pembangunan yang telah disampaikan Sri Mulyani dihadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Maka itu, postur APBN 2022 yang diajukan meliputi pendapatan negara direncanakan sebesar Rp1.846,1 Triliun dan belanja negara sebesar Rp2.714,2 Triliun. 

“Anehnya, secara matematis APBN 2022 tersebut masih membuat defisit Rp868,1 Triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB),” tutur Defiyan. 

Mengutip penjelasan Sri Mulyani, secara bertahap, defisit APBN akan diturunkan dari 6,14% pada Tahun 2020 menjadi 5,7% dari PDB pada Tahun 2021, dan untuk Tahun 2022 menjadi 4,85% dari PDB.

Sebagai catatan bagi publik, bahwa meskipun rancangan APBN dirancang akan terjadi penurunan defisit, faktanya realisasi APBN 2020 mengalami defisit sejumlah Rp947,70 Triliun dengan adanya tambahan luar biasa tak masuk akalnya di tengah pandemi Covid-19. 

“Lalu, apa yang istimewa dari rancangan APBN yang telah diajukan oleh Menkeu Sri Mulyani dengan tetap mempertahankan defisit?,” Defiyan dengan nada tanya.

Sepertinya publik perlu khawatir akan terjadinya pengulangan atas kesalahan rancangan APBN yang selalu tidak pernah keluar dari defisit. 

Artinya, pembangunan tetap dibiayai dengan istilah “lebih besar pasak daripada tiang”, Lantas, apakah ini disebut prestasi dalam mengelola keuangan? 

Sasaran Tidak Realistis

Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022 telah disepakati bersama antara Pemerintah dan DPR untuk menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022, Kamis 30 September 2021. 

Menkeu menyampaikan, bahwa APBN 2022 tetap menjadi instrumen penting dalam mendukung pemulihan ekonomi, melanjutkan reformasi, dan melindungi masyarakat dari bahaya Covid-19. Benarkah demikian data dan fakta yang telah terjadi selama masa pandemi Covid19 berlangsung? 

Kata Defiyan, faktanya tidak demikian, justru kelompok korporasi lebih memperoleh perhatian serius dari pemerintah dengan menggelontorkan lebih besar alokasi untuk mereka dibandingkan kelompok masyarakat terbesar. 

Setidaknya hal itu terjadi pada pembiayaan korporasi, yang sebelumnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pada Tahun 2020 sejumlah Rp 44,57 Triliun. Namun, pada pertengahan tahun (bulan Juni 2020) jumlah tersebut mengalami peningkatan Rp 9 Triliun menjadi Rp 53,57 Triliun.

Untuk alokasi angaran penanganan Covid-19 untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya lebih dari 14 jutaan totalnya hanya senilai Rp123,46 Triliun. 

Dan, yang dialokasikan untuk subsidi bunga hanya sejumlah Rp35,28 Triliun, serta penempatan dana pemerintah untuk restrukturisasi Rp78,78 Triliun, dan belanja imbal jasa penjaminan Rp5 Triliun. 

Hasilnya, hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi kontraksi sebesar 2,07 persen pada Tahun 2020.

Indikator dimasa pandemi Covid19 selama Tahun 2020-2021 saja belum menunjukkan kinerja yang positif, atas dasar apa Menkeu menetapkan sasaran yang diluar nalar data terkini? 

Karenanya, jika hanya mengandalkan sektor konsumsi, maka APBN yang diajukan Menkeu dan telah disahkan itu hanya berorientasi mendorong perekonomian untuk konsumtif atau tidak produktif melalui produksi. 

Apalagi mendorong investasi dari luar yang berarti akan menciptakan ketergantungan pada kandungan impor (impor content) yangmana nilai tambahnya akan lebih banyak dinikmati negara asing. 

Tidak berbeda dengan postur APBN yang dibuat pemerintah, yangmana belanja atau konsumsi lebih besar dari penerimaan negara sejumlah Rp868,1 Triliun akan bergantung lagi kepada utang. 

Lalu sampai kapan harus membuat APBN defisit dan tergantung dengan utang, baik dalam maupun luar negeri, siapa yang akan menanggungnya setelah pemerintahan berganti? 

Semestinya, lanjut dia, langkah diambil melakukan reformasi anggaran dengan mengefisienkan belanja negara melalui reformasi struktural dan kelembagaan negara yang banyak tumpang tindih, mengurangi fasilitas dan tunjangan bagi DPR yang sangat lemah kinerja legislasinya serta pos-pos pengeluaran lainnya yang tidak mendesak. (rhm)

Berita Lainnya

Terkini