Yogyakarta – Setelah penantian bertahun-tahun yang penuh keresahan, sidang perdana kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) dana hibah COVID-19 untuk Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro resmi digelar di Pengadila Negeri Yogyakarta Kamis 12 Juni 2025.
Agenda penting ini berfokus pada pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), membuka babak baru dalam upaya mengungkap penyalahgunaan dana yang seharusnya menjadi penyelamat di masa sulit pandemi.
Kasus ini mencuatkan dugaan penyalahgunaan dana hibah oleh pengurus lama Paguyuban PKL Tridharma Malioboro.
Alih-alih membantu pemulihan ekonomi para PKL yang terpuruk akibat pandemi COVID-19, dana tersebut diduga kuat diselewengkan untuk kepentingan pribadi.
“Sidang hari ini adalah momentum bersama bagi PKL. Keresahan yang bertahun-tahun dialami pengurus lama akhirnya hari ini kita adili bersama-sama,” tegas Ach Nurul Luthfi, pendamping hukum PKL Malioboro dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, usai persidangan.
Ia menambahkan, “Justru niatnya bukan mengadili secara personal, tapi karena memang ada tindakan yang sudah di luar prosedural dan memperkaya diri sendiri.”
Nurul mengungkapkan bahwa dua pengurus lama, yakni ketua dan bendahara, diduga menjadi dalang di balik penyimpangan ini, memanfaatkan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi.
“Ini paling menyakitkan bagi anggota PKL Tridharma adalah karena dana hibah ini seharusnya digunakan untuk pemulihan ekonomi di masa Covid-19, malah dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu. Ini bukan untuk kepentingan bersama,” sesalnya dengan nada prihatin.
Pihak PKL Malioboro menaruh harapan besar kepada para jaksa agar bersikap kooperatif dan menjunjung tinggi keadilan dalam proses penegakan hukum.
“Kami percaya bahwa jaksa akan menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Sudah satu tahun kami inventarisasi masalah dan bukti-bukti. Kami hanya melaporkan, dan ini kita kembalikan kepada undang-undang. Tadi juga jaksa sudah menyimpulkan bahwa ini masuk ke Tipikor karena merugikan keuangan negara,” pungkas Nurul penuh keyakinan.
Terkuak: Kerugian Negara Ratusan Juta Rupiah Akibat Korupsi Dana Hibah PKL Malioboro
Yogyakarta, 12 Juni 2025 – Tabir kerugian materiil dari kasus Tipikor dana hibah COVID-19 untuk PKL Malioboro akhirnya terkuak.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasie Penkum) Kejati DIY, Herwatan, membeberkan detail mengejutkan terkait dua tersangka utama dalam kasus ini: Lestari, Bendahara Koperasi Tri Dharma periode 2020–2023, dan Rudiarto, Ketua Koperasi Tri Dharma Yogyakarta periode 2020-2023.
“Para tersangka diduga telah menyalahgunakan dana hibah yang seharusnya disalurkan sebagai pinjaman berbunga rendah (Pinjaman Kredit Pemulihan Ekonomi/KPE) kepada 907 anggota koperasi yang terdampak PPKM.
Namun, hanya 103 orang yang menerima pinjaman, dan selebihnya dana digunakan tidak sesuai peruntukan serta tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ungkap Herwatan dalam keterangannya di Yogyakarta, Rabu 12 Juni 2025.
Penetapan tersangka Rudiarto dilakukan usai pemeriksaan sebagai saksi pada Rabu, 8 Januari 2025, dan ia langsung ditahan di Lapas Kelas II Yogyakarta selama 20 hari.
Sementara itu, Lestari telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka pada 20 Desember 2024, dan pada 8 Januari 2025 diperiksa serta ditahan dengan status tahanan rumah selama 20 hari karena alasan kesehatan.
Berdasarkan hasil audit Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY, dari total dana hibah sebesar Rp250 juta, sungguh miris, hanya Rp172.380.500 yang berhasil dikembalikan oleh peminjam.
Lebih mengejutkan lagi, sebanyak Rp151.250.657 dari jumlah tersebut digunakan oleh para tersangka untuk kepentingan pribadi. Sisa dana sebesar Rp77.619.500 menjadi kredit macet koperasi, sementara Rp26.881.843 tersisa di rekening BPD DIY Dana Hibah dan tidak diserahkan kepada Arif Usman, Ketua Koperasi Tri Dharma Yogyakarta periode 2023-2025, saat serah terima dokumen pada 5 Juli 2023.
“Perbuatan para tersangka telah menimbulkan kerugian keuangan negara dan mencederai rasa keadilan masyarakat, khususnya para PKL Malioboro yang sangat membutuhkan bantuan selama masa PPKM,” pungkas Herwatan, menegaskan dampak serius dari tindakan korupsi ini.
Para tersangka kini dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 3 sebagai pasal subsider. Jeratan hukum ini menjadi pertanda kuat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama di masa krisis, tidak akan ditoleransi.***