Puskindo UMK Apresiasi Presiden Jokowi Soal FCTC

15 Juni 2016, 20:45 WIB
Peneliti Puskindo UMK, Zamhuri

Kabarnusa.com- Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait isu ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Apresiasi itu dilayangkan peneliti Puskindo UMK, Zamhuri, pertimbangan Presiden yang dinilainya berpihak pada kepentingan nasional.

Pertama, Presiden menekankan pada para menterinya dalam menyikapi adanya FCTC ini terlebih dahulu mengedepankan kepentingan nasional.

“Ini perlu diapresiasi, karena pemerintah sudah semestinya mementingkan kepentingan nasional,” katanya Rabu (15/6/2016).

Terlebih, sektor pertembakauan merupakan salah satu sumber pendapatan nasional yang strategis yang memberikan kontriusi secara siginifikan bagi penerimaan negara dan menopang perekonomian rakyat.

Tahun 2015 ini saja, sumbangan sektor pertembakuan dari cukai saja mencapai Rp. 139,1 Triliun. Ini belum termasuk pajak dan retribusi lainnya,’’ tegasnya.

Kedua, Presiden mengingatkan pentingnya mempertimbangkan nasib petani dan buruh tembakau.

“Rakyat yang menggantungkan ekonominya dari sektor tembakau, sangat besar. Berdasarkan data Komisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK), sekitar 30-35 juta orang bekerja dalam rangkaian produksi tembakau, cengkih, industri kretek, serta perdagangan tembakau,’’ terangnya.

Besarnya jumlah rakyat yang menggantungkan perekonomiannya dari sektor tembakau bisa lebih besar jika kita melihat dampak multiplier effect dari keberadaan produk-produk tembakau.

“Seperti usaha di bidang kertas, percetakan, advertising, jasa transportasi, hingga bergeraknya pasar tradisional dan modern dan lain sebagainya,’’ lanjutnya.

Ketiga, sikap Presiden yang laik diapresiasi terkait isu FCTC ini, karena tidak ingin sekadar ikut tren dari negara-negara lain.

Tidak ingin sekadar ikut tren meratifikasi FCTC dari negara lain.

“ini merupakan kearifan dari seorang Presiden, yang tentunya berangkat dari pemahaman akan kondisi obyektif yang ada di tanah air,’’ katanya.

Di sisi lain keberadaan Gerakan Anti Tembakau (GAT) pada tahun 2016 yang mengusung isu Aksesi/Ratifikasi FCTC perlu diwaspadai.

Negara Amerika yang merupakan negara tempat Bloomberg tinggal saja belum aksesi atau ratifikasi FCTC.

Padahal, posisi Bloomberg saat ini adalah Walikota New York, orang terkaya ke-6 di AS dan ke-8 di dunia dengan kekayaan $ 44,7 miliar, memiliki jaringan perguruan tinggi kesehatan masyarakat salah satunya John Hopkins University atau John Hopkins Bloomberg of Publik Health.

“Dengan kekuatan uang dan jaringan bisnis, universitas dan pemerintahan yang dimiliki kenapa dia tidak mendesak Presiden Obama meratifikasi FCTC”, tanya Zamhuri.

Menurut Zamhuri, meski Indonesia belum meratifikasi FCTC, namun dari sisi regulasi sudah melakukan diadopsi di peraturan pengendalian tembakau baik level UU, PP, atau peraturan daerah.

“Data WHO, Amerika dan Indonesia sama-sama masuk dalam 10 negara konsumsi tembakau terbesar dunia.

Amerika peringkat 5 dengan jumlah perokok 58 juta, sementara Indonesia 65 juta. Maka sikap Presiden Jokowi sudah tepat untuk tidak ikut trend karena sikap yang sama dilakukan oleh Presiden Obama yang belum meratifikasi FCTC. (des)

Berita Lainnya

Terkini