Jakarta – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam perkara Nomor 122-PKE-DKPP/IV/2025 yang menjatuhkan sanksi kepada dua anggota Bawaslu Kota Jakarta Timur, Ahmad Syarifudin Fajar (Teradu I) dan Prayogo Bekti Utomo (Teradu II), dinilai mencederai semangat penegakan hukum Pemilu serta mengandung sejumlah persoalan etik dan yuridis yang mendesak untuk dikoreksi.
1. Ancaman bagi Integritas Pengawasan Pemilu
Putusan DKPP ini dapat menciptakan efek jera yang salah arah bagi pengawas Pemilu yang bekerja sesuai prosedur dan integritas. Teradu I dan Teradu II bertindak berdasarkan kewenangan hukum sah sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU No. 10 Tahun 2016 serta Peraturan Bawaslu Nomor 6 dan 7 Tahun 2022. Tidak satu pun tindakan mereka yang melampaui kewenangan atau melanggar kode etik.
Justru, tindakan para Teradu merupakan bagian dari upaya mengungkap pelanggaran berat di TPS 28 Kelurahan Pinang Ranti, Kecamatan Makasar, termasuk pencoblosan 19 surat suara secara ilegal oleh seorang pemilih yang tidak terdaftar di TPS tersebut, dan ditemukannya satu anggota KPPS ilegal.
“Jika pengawas yang berani mengungkap kecurangan justru disanksi, maka kita sedang menyuruh pengawas untuk diam dan membiarkan pelanggaran terjadi. Ini berbahaya bagi demokrasi kita.”
2. Indikasi Konflik Kepentingan dalam Majelis DKPP
Kekhawatiran terhadap objektivitas DKPP semakin menguat karena salah satu anggota Majelis, Dr. Didik Suhariyanto, S.H., M.H., terbukti pernah menjadi saksi ahli yang meringankan dalam persidangan PN Jakarta Timur terhadap Reyvana Helaha, istri dari Pengadu dalam perkara DKPP ini.
Dalam surat keberatan resmi tertanggal 26 Mei 2025, para Teradu menyatakan bahwa keberadaan Dr. Didik dalam Majelis Pemeriksa menunjukkan adanya potensi konflik kepentingan, karena dalam perkara sebelumnya, para Teradu memberikan rekomendasi sanksi pidana terhadap Reyvana Helaha, sedangkan Dr. Didik memberikan keterangan ahli yang meringankan.
Pada sidang pemeriksaan DKPP tanggal 27 Mei 2025, para Teradu secara terbuka menyatakan tidak akan menjawab pertanyaan dari Dr. Didik Suhariyanto sebagai bentuk protes atas keberpihakannya. Dr. Didik pun tidak mengajukan pertanyaan kepada Teradu selama persidangan berlangsung. Keberatan yang telah diajukan tidak ditindaklanjuti oleh DKPP.
“Tidak seharusnya seseorang yang pernah memberikan keterangan menguntungkan bagi pihak yang sekarang menjadi Pengadu ikut memeriksa perkara ini. Ini pelanggaran etik serius dan melanggar prinsip ‘tidak memeriksa perkara yang berpotensi konflik kepentingan”.
3. DKPP Mengabaikan Fakta Penting dalam Persidangan
Putusan DKPP dinilai mengesampingkan fakta-fakta penting, antara lain:
Pengawas TPS 28 telah mengeluarkan rekomendasi dengan mencatat pelanggaran serius dalam Lembar Kejadian Khusus, termasuk adanya surat suara tercoblos yang disembunyikan oleh Ketua KPPS.
Terjadi pencoblosan 19 surat suara secara ilegal (1 surat suara telah dimasukkan ke dalam kotak suara) oleh Petugas Ketertiban TPS yang bekerja sama dengan Ketua KPPS TPS 28. Ketua PPK Kecamatan Makasar sempat mengusulkan agar 18 surat suara tersebut dianggap sebagai “surat suara rusak.”
Tuduhan bahwa para Teradu menghentikan proses penghitungan suara terbukti tidak berdasar, karena proses tetap berlangsung hingga pengiriman kotak suara pada malam hari tanggal 27 November 2024. Fakta-fakta ini menunjukkan adanya pelanggaran berat terhadap asas Pemilu yang jujur dan adil, yang justru diabaikan oleh penyelenggara teknis seperti KPU Kota Jakarta Timur dan PPK Kecamatan Makasar.
“Ketika fakta-fakta lapangan yang sangat jelas justru tidak dijadikan dasar putusan, maka proses etik berubah menjadi prosedur formalistik yang membutakan diri dari realitas. Ini berbahaya karena mengesampingkan substansi keadilan demi menjaga citra semu kelembagaan”.
4. DKPP Dianggap Salah Sasaran: Pengawas Disanksi, Pelaku Dibiarkan
Sanksi dijatuhkan kepada pengawas, sementara KPPS TPS 28, PPS Pinang Ranti, PPK Makasar, dan KPU Kota Jakarta Timur yang memiliki tanggung jawab teknis atas pelanggaran serius di TPS 28 tidak mendapatkan evaluasi etik maupun administratif, padahal mereka:
Meloloskan proses rekapitulasi suara tanpa mempertimbangkan keberatan tertulis dari Pengawas TPS;
Mengabaikan bukti adanya manipulasi surat suara dan pelanggaran prosedural;
Bersikap pasif terhadap temuan pelanggaran berat di lapangan.
“Ketika pelaku utama pelanggaran justru dibiarkan, sementara pengawas yang menjalankan tugasnya dihukum, maka kita menyaksikan kemunduran etika dalam penyelenggaraan pemilu. DKPP harusnya menjadi penjaga moralitas pemilu, bukan malah membungkam integritas.”
5. Langkah Hukum Lanjutan
Merespons putusan DKPP yang dinilai tidak adil dan melanggar prinsip peradilan yang imparsial, para Teradu menyatakan akan menempuh gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai bentuk perlawanan terhadap kriminalisasi tugas pengawasan.
“Kami tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran dan menegakkan integritas pemilu. Pengawasan adalah benteng terakhir demokrasi. Jika pengawas yang jujur justru disanksi, maka kita sedang menciptakan lubang besar dalam sistem demokrasi kita”.***
— Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo, Teradu dalam perkara 122-PKE-DKPP/IV/2025.