Jakarta– Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) 2025 yang mengusung tema “Generasi Sehat, Masa Depan Hebat” pada 12 November mendatang disorot tajam karena adanya paradoks yang mengkhawatirkan antara semangat tema dan realitas kebijakan kesehatan di lapangan.
Pegiat Perlindungan Konsumen, Tulus Abadi, melalui refleksi HKN, memperingatkan masa depan bonus demografi dan “generasi emas” Indonesia terancam oleh kegagalan pemerintah mengutamakan kebijakan promotif dan preventif.
Tulus Abadi menyoroti kebijakan kesehatan publik yang digulirkan pemerintah masih didominasi oleh pendekatan kuratif, ditandai dengan penguatan infrastruktur kesehatan di hilir.
Sementara itu, kebijakan berbasis promotif dan preventif – yang sejatinya merupakan kunci untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di hulu – masih minim.
“Jika aspek hulu (promotif preventif) tidak menjadi prioritas, maka belanja kesehatan untuk aspek kuratif akan semakin mahal dan tak terkendali,” tegas Abadi.
Ironisnya, kegagalan fokus pada pencegahan ini terjadi di tengah fenomena sosiologis yang sangat genting: generasi muda semakin minim aktivitas fisik, tersandera gawai, dan yang paling kritis, tersandera pola makan tidak sehat dengan konsumsi tinggi gula, garam, dan lemak (GGL).
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bukti nyata ancaman kesehatan yang membayangi generasi muda:
Obesitas dan Kegemukan: Prevalensi kegemukan dan obesitas mencapai 19,7% pada anak usia 5-12 tahun, dan 16% pada usia 13-15 tahun.
Minuman Manis Berkemasan (MBDK): Konsumsi MBDK mencapai 25,5% di kalangan remaja dan anak-anak, didukung oleh kemudahan akses dan harga yang murah.
Perokok Anak: Terdapat sekitar 6 juta anak Indonesia yang merokok (7,4%). Prevalensi rokok elektronik bahkan melompat hingga 10 kali lipat menjadi 3% dari sebelumnya hanya 0,3%.
Abadi mengkritik keras keputusan Menteri Keuangan yang memilih tidak menaikkan cukai rokok untuk tahun 2026.
“Menkeu lebih memilih ‘kesehatan’ finansial industri rokok daripada memilih kesehatan masyarakat dan anak-anak Indonesia,” sindirnya.
Meskipun fenomena sosiologis ini sangat mengkhawatirkan, Abadi menemukan ironi yang lebih dalam: upaya sistematis dan holistik untuk mengendalikan perilaku konsumsi sehat terhambat.
Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 tentang Kesehatan sejatinya telah mengakomodir instrumen penting promotif preventif, namun regulasi tersebut mangkrak akibat adanya tekanan:
Pengendalian GGL: Mandat untuk “peringatan kesehatan bergambar” (semacam traffic light food labeling) pada produk tinggi GGL belum terealisasi karena tekanan dari kalangan industri makanan/minuman, bahkan diklaim atas tekanan dari pemerintah Amerika Serikat.
Pengendalian Rokok: Pasal-pasal krusial seperti larangan iklan di media digital, peningkatan peringatan kesehatan bergambar menjadi 50%, standardisasi kemasan, dan larangan penjualan rokok batangan/ketengan, hingga kini belum diterapkan.
HKN 2025 harus menjadi momen transformasi kebijakan. Abadi menyerukan agar pemerintah segera mengimplementasikan PP 28/2024, terutama pada aspek pengendalian GGL dan produk rokok.
“Pemerintah tidak boleh kalah, apalagi menyerah, oleh adanya tekanan industri makanan/minuman, industri rokok; plus apalagi kalah dengan tekanan negara asing,” tegasnya.
Generasi yang tidak sehat hanya akan menjadi beban sosial dan ekonomi bagi negara. Abadi menyimpulkan bahwa harapan untuk menggapai cita-cita bonus demografi dan generasi emas akan menipis jika generasi mudanya terus sakit-sakitan akibat tingginya konsumsi MBDK, makanan GGL, dan rokok.
Pemerintah dan masyarakat didorong untuk bergerak dari hilir ke hulu, memastikan kebijakan promotif preventif menjadi prioritas utama. ***

