Jakarta – Direktur Eksekutif Sentra Keadilan dan Ketahanan Institute (Sekata Institute), Andri Ferdiansyah, menyoroti tren sejumlah kepala daerah yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan nilai selangit. Ia mengingatkan, kebijakan brutal seperti itu bisa berujung pada kemarahan rakyat hingga pemakzulan oleh DPRD.
“Belajarlah dari kasus Bupati Pati, Sudewo. Baru menaikkan PBB 250% setelah 14 tahun tak pernah disesuaikan, langsung didemo besar-besaran. Rakyat menolak, DPRD gunakan hak angket, kebijakan dibatalkan, dan kursi bupati terancam. Itu bukti bahwa kebijakan fiskal yang menindas bisa jadi bumerang,” kata Andri, Senin (18/8/2025).
Andri menegaskan, dasar hukum pajak daerah sudah diatur dalam UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Aturan itu menegaskan, kenaikan tarif pajak harus memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan kemampuan masyarakat.
“Pasal 23A UUD 1945 tegas menyatakan pajak hanya bisa ditetapkan dengan undang-undang. Kepala daerah jangan jadikan rakyat sebagai mesin uang. Kalau semena-mena, rakyat bisa melawan, DPRD bisa bertindak,” tegasnya.
Menurutnya, DPRD memiliki kewenangan konstitusional untuk mengoreksi bahkan memakzulkan kepala daerah jika kebijakan mereka menyalahi asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
“UU 23/2014 sudah jelas mengatur mekanisme itu. Jadi kalau nekat menaikkan PBB tanpa kajian matang, siap-siap kursi kepala daerah bisa amblas,” pungkas Andri.
Fakta menunjukkan, PBB selangit bukan hanya terjadi di Pati. Sejumlah daerah lain juga jadi sorotan.
1. Cirebon (Jabar): tagihan warga melonjak sampai 1.000%. Seorang warga di Jalan Siliwangi kaget karena pajaknya naik dari Rp6,2 juta menjadi Rp65 juta.
2. Kabupaten Semarang (Jateng): di Ambarawa, PBB warga naik 441%, dari Rp160 ribu menjadi Rp872 ribu.
3. Jombang (Jatim): warga Desa Sengon melaporkan lonjakan dari Rp400 ribu menjadi Rp3,5 juta. Ada kasus ekstrem tembus 1.200%.
4. Bone (Sulsel): PBB naik 300%, mahasiswa turun ke DPRD memprotes kebijakan yang dinilai tanpa sosialisasi.***