![]() |
Gedung Mahkamah Konstitusi/net |
JAKARTA– Para aktivis Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) dan Maju Perempuan Indonesia (MPI) mengharapkan dalam seleksi hakim Mahkamah Konstitusi memiliki perspektif keterwakilan perempuan
Sebagai wadah berkumpulnya perempuan-perempuan yang aktif di dunia politik dan kebijakan, mereka memberikan masukan kepada Panitia Seleksi Hakim MK yang tengah melakukan tugasnya untuk memilih satu orang hakim yang akan menggantikan Prof. Maria Farida Indrati yang memasuki usia pensiun.
Lewat pernyataan sikap disampaikan GKR Hemas (Ketua Harian Presidium KPP-RI)
Dwi Septiawati Djafar (Ketua Umum KPPI) dan Lena Maryana Mukti(Koordinator MPI) mereka menyampaikan pandangannya.
Pertama, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang sangat penting dan mempunyai nilai strategis yang tinggi dalam sistem ketatanegaraan dan politik Indonesia. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji suatu undang-undang berdasarkan UUD, memutus sengketa pemilihan umum, sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, serta memutus dakwaan yang diajukan terhadap presiden dan/atau wakil presiden dalam konteks pemakzulan.
Sikap kedua, putusan MK bersifat “final and binding” dan dalam hal pengujian undang-undang, putusannya secara efektif langsung menghasilkan norma hukum yang banyak mengubah dunia hukum kita, selayaknya hukum yang dibuat melalui undang-undang oleh DPR dan pemerintah.
Misalnya. ketika Mahkamah Konstitusi menguji pasal yang mengatur bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang hanya memiliki hubungan dengan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (Pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat 1 dalam UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Pada Februari 2012, majelis hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi tersebut dan dengan begitu seluruh anak di Indonesia memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Setelah adanya putusan ini, wanita bisa menuntut pria yang menghamilinya untuk memberi nafkah sang anak.
Pandangan ketiga, kewenangan yang besar tersebut membutuhkan sumber daya hakim yg memiliki integritas, kapasitas, dan kompetensi yang mumpuni. Hakim terpilih nantinya haruslah sosok yang memahami konstitusi secara mendalam.
“Hakim Konstitusi tidak hanya harus memahami konstitusi dalam hal teks dan penafsirannya, tetapi juga mampu menggali nilai-nilai konstitusi serta menempatkan asas-asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, secara seimbang,” terang Lena dalam rilis.
Disamping syarat sebagaimana disebutkan di atas, komposisi keanggotaan hakim Mahkamah Konstitusi juga harus memperhatikan keterwakilan perempuan.
“Dalam konteks yang lebih besar, semua lembaga negara, termasuk DPR, tengah didorong untuk mengakomodasi minimal 30% keterwakilan perempuan untuk memastikan adanya perspektif perempuan dalam keputusan-keputusan yang dibuatnya.
Dalam konteks pemilihan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang pemilihannya tidak melalui pilihan masyarakat (popularly elected) dan lebih berdasarkan pada kompetensi dan integritas, prosentase keterwakilan ini memang tidak diatur secara eksplisit; namun semangat keterwakilan perempuan tetap harus dapat mewarnai proses seleksinya.
Sebab sangat banyak isu yang terkait dengan perempuan dan anak yang akan diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Mulai dari pemenuhan hak-hak dasar perempuan dalam perkawinan dan pekerjaan, sampai dengan hak-hak politik perempuan yang seringkali terabaikan.
Dikatakan, dalam konteks politik, keterwakilan perempuan juga menjadi penting karena MK juga berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan kepada daerah dan legislatif. Data yang kami miliki menunjukkan, kecurangan dalam pemilihan anggota legislatif banyak dialami oleh perempuan calon legislatif yang memiliki keterbatasan menyediakan saksi.
Pemilu 2019 yang akan dilakukan secara serentak ditengarai akan banyak membuka peluang terjadinya berbagai kecurangan karena lemahnya pengawasan, terutama di pemilu legislatif karena masyarakat akan lebih fokus pada pemilihan presiden. Selama ini, karena minimnya perspektif perempuan, berbagai bentuk kecurangan yang memang secara spesifik dialami perempuan, kurang mendapat perhatian.
Seperti diketahui, perspektif perempuan yang didasarkan pada pemahaman berdasarkan pengalaman seringkali tak tergantikan dalam proses kelahiran hukum dan kebijakan, termasuk dalam konteks peran MK dalam “membuat hukum” dan memutus hasil pemilihan umum.
Tanpa adanya kesadaran akan pentingnya keterwakilan perempuan dalam banyak proses pemilihan pejabat publik, perempuan-perempuan yang sesungguhnya mempunyai kompetensi dan integritas yang luar biasa seringkali luput dari perhatian (over looked) karena belum banyak mengisi ruang publik, yang lebih banyak diisi oleh laki-laki. Padahal tak kurang banyaknya perempuan cerdas, berkompeten, dan berintegritas dalam dunia hukum maupun politik Indonesia.
Lena mengungkapkan, Profesor Maria Farida Indrati yang memasuki usia pensiun dan meninggalkan jabatan hakimnya di MK adalah satu dari perempuan-perempuan tersebut dan satu-satunya perempuan yang menjadi hakim Konstitusi dalam sejarah MK.
“Besar harapan kami agar perspektif perempuan tetap terwakili di Mahkamah Konstitusi. Ke depannya, kami berharap agar ada lebih banyak perempuan yang bisa masuk ke MK untuk memastikan masuknya perspektif perempuan dalam dunia hukum Indonesia,” harapnya.
Hal ini hanya dapat dilakukan dengan adanya proses seleksi yang secara sungguh-sungguh memperhatikan keterwakilan perempuan, sehingga mampu membuat terobosan dalam metode seleksi lama yang yang seringkali membuat banyak perempuan berkompeten dan berintegritas luput dari proses seleksi.
Selain itu, terlepas dari jenis kelaminnya, proses seleksi juga harus memastikan bahwa semua orang yang mengikuti proses seleksi memang benar-benar memahami isu-isu perempuan, agar Indonesia dapat terus meningkatkan komitmennya dalam memenuhi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW).
Mereka memahami bahwa akan ada 3 (tiga) nama yang akan disampaikan kepada Presiden untuk kemudian dipilih salah satunya untuk ditetapkan sebagai hakim Konstitusi yang baru.
“Untuk itu, kami mendorong Panitia Seleksi agar memperhatikan komposisi usulan tersebut agar dapat memastikan adanya keterwakilan perempuan di Mahkamah Konstitusi,” imbuh Lena. (rhm)