Serbuan MEA, Perda Tak Cukup Lindungi Tenaga Kerja Lokal Bali

10 Januari 2016, 12:25 WIB

Kabarnusa.com
Masuknya era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) belum diantisipasi secara
cepat oleh Provinsi Bali lantaran Peraturan Daerah (Perda) yang ada
belum mampu melindungi tenaga kerja lokal secara menyeluruh.

Anggota Komisi II DPRD Bali Anak Agung Ardhana menegaskan, tahun ini legislatif akan membahas Perda Perekonomian Rakyat.

Lewat Perda itu, akan mengatur‎ perlindungan bagi usaha-usaha berbasis kerakyatan demi melindungi dari persaingan bebas MEA.

Dia
menyatakan, tidak tertutup kemungkinan perda ini akan mengadopsi sistem
fair trade.‎ Dengan demikian perlindungan nyata bagi masyarakat Bali
dapat dirasakan.

“Sehingga masyarakat yang pintar atau kreatif
dapat keberpihakan baik dalam hal pendanaan maupun saat dia menjual dan
memperdagangkan produk,” ujarnya dalam diskusi bulanan “Fair Trade Kunci
Hadapi MEA” dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar,
Sabtu (8/1/2016).

Diakuinya, saat ini proteksi yang dimiliki Bali
dalam bentuk perda untuk menghadapi MEA hanyalah Perda Rancangan Induk
Pariwisata dan Perda Jasa Konstruksi.

“Adapun perlindungan untuk tenaga kerja secara keseluruhan belum ada,” katanya menegaskan.

Penyebabnya,
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bali belum menyerahkan hasil kajian
akademik naskah perda perlindungan naker lokal.‎

Legislatif akan mengarahkan semua perda untuk selalu memberikan keberpihakan kepada tenaga kerja lokal.

Rencana lainnya yang sedang digodok adalah aturan mengharuskan pekerja asing memahami budaya Bali.

Karena
itu, pihaknya mendorong gubernur membuat standar sertifikasi budaya
Bali agar esensi konsep dan prinsip budaya tidak terkikis persaingan
bebas.

Pihaknya juga mendorong masyarakat memasarkan produknya, terutama jasa kuliner ke luar negeri, semisal Singapura dan Malaysia.

Kendati demikian, Agung Ardhana mengakui perda saja tidak cukup tanpa ada upaya penindakan dari eksekutif.

Menurutnya, gubernur seharusnya juga membuat peraturan gubernur agar penindakan di lapangan dapat berjalan dengan baik.

Fair
trade alias perdagangan berbasiskan keadilan dipercaya dapat menjadi
siasat bagi masyarakat Bali dalam menghadapi pemberlakuan Masyarakat
Ekonomi Asean mulai akhir 2015 lalu.

Sekjen Forum Fair Trade
Indonesia Agung Alit mengatakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) merupakan
skenario dari sistem kapitalis global.

Menurutnya, sistem ini tidak hanya mengharuskan kompetisi dan produktivitas, tetapi juga menyebabkan kekerasan ekonomi.

“‎Tidak
bisa bisa dijawab dengan [mewajibkan pekerja asing] mengerti budaya
Bali. Tidak bisa dengan budaya-budaya, siasat kami adalah perdagangan
adil,” tandasnya.

Praktek perdagangan adil tersebut seperti
memberikan uang muka 50% kepada perajin yang bekerja sama dengan Mitra
Fair Trade serta menjelaskan siapa pembelinya dan dari negara mana.

Inti
dari perdagangan yang adil adalah tidak menghisap pembuat barang demi
keuntungan semata, melainkan ikut berempati dan solider.

Dia
menegaskan menghadapi pasar bebas masyarakat tidak perlu anti asing
tetapi ikut melakukan usaha serta meningkatkan kapasitas diri.‎ (kto)

Berita Lainnya

Terkini