Bantul – Gelombang kasus dugaan mafia tanah kembali mengguncang Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan munculnya korban baru.
Setelah sebelumnya seorang lansia buta huruf dari Desa Ngentak, Kasihan, Bantul, menjadi korban, kini giliran keluarga Bryan Manov Qrisna Huri (35), seorang warga RT 04 Dusun Jadan, Kalurahan Tamantirto, Kapanewon Kasihan, mengalami nasib serupa.
Pada Senin, 5 Mei 2025, Bryan mengambil langkah proaktif dengan mendatangi Kantor Bupati Bantul. Keberuntungan berpihak padanya, karena Bupati Bantul, Abdul Halim, bersedia langsung menerima kedatangannya.
Usai pertemuan dengan Bupati, Bryan menjelaskan kepada wartawan bahwa kemunculan kasus yang menimpa Mbah Tupon, seorang korban mafia tanah sebelumnya, membuatnya tergerak.
Ia melihat adanya kemiripan antara kasus Mbah Tupon dengan permasalahan yang sedang dihadapi keluarganya. Pertemuan dengan Bupati bertujuan untuk memaparkan secara langsung kronologi kasus yang dialaminya, dengan harapan Bupati dapat membantu keluarganya untuk mendapatkan kembali hak atas sertifikat tanah mereka.
Kasus ini bermula pada tahun 2023, ketika ibu Bryan, Endang Kusumawati, berencana memecah Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah warisan suaminya seluas 2.275 meter persegi untuk diwariskan kepada Bryan dan adiknya.
Untuk keperluan pemecahan sertifikat tersebut, Endang Kusumawati meminta bantuan kepada pria berinisial T, warga Karangjati yang dikenal sebagai makelar dan juga pihak yang membantu pemecahan sertifikat tanah Mbah Tupon. Karena kepercayaan ibunya terhadap T. sertifikat tanah tersebut kemudian diserahkan kepadanya.
Namun, hingga tahun 2024, tidak ada kabar perkembangan mengenai proses pemecahan sertifikat tersebut. Bryan mengungkapkan kekecewaannya karena tidak adanya informasi yang jelas mengenai status dan bagaimana proses pemecahan sertifikat berjalan.
Lebih lanjut, Bryan menyoroti adanya kesamaan alur dalam kasus yang menimpanya dengan yang dialami Mbah Tupon, terutama terkait penyerahan sertifikat.
Saat menyerahkan sertifikat kepada T, tidak ada tanda terima maupun tanda tangan sebagai bukti penyerahan. Meskipun demikian, Bryan dan ibunya telah menandatangani surat turun waris yang keberadaannya telah dikonfirmasi oleh pihak kelurahan, bahkan telah ditandatangani oleh Lurah setempat.
Kejanggalan mulai terungkap sekitar bulan November 2024, ketika pihak BRI Sleman mendatangi kediaman Bryan untuk menagih angsuran atas sebuah agunan.
Anehnya, agunan tersebut berupa sertifikat tanah milik keluarga Bryan yang kini tercatat atas nama orang lain, yaitu Muhammad Ahmadi, yang tidak dikenal oleh keluarga Bryan.
Kecurigaan semakin menguat ketika Bryan melakukan pengecekan pajak bumi dan bangunan (PBB) tahun 2024. Hasilnya menunjukkan bahwa nama pemilik tanah yang tertera pada surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) telah berubah menjadi Muhammad Ahmadi, padahal pada tahun 2023 masih atas nama almarhum ayahnya. Data di tingkat dukuh pun mengonfirmasi perubahan nama kepemilikan tersebut.
Saat pihak BRI Sleman datang untuk menagih angsuran, Bryan mengaku tidak mengetahui besaran nominal pinjaman maupun detail transaksi yang mendasari penagihan tersebut. Pihak BRI juga disebut enggan memberikan informasi lebih lanjut karena sertifikat tersebut sudah tidak atas nama anggota keluarganya. Mereka hanya menyampaikan adanya tunggakan pinjaman yang tidak terbayar.
Atas kejadian yang merugikan ini, Bryan telah melaporkan T ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa hari sebelumnya atas dugaan keterlibatan dalam kasus mafia tanah.
Bryan menjelaskan bahwa adalah pihak pertama yang memegang sertifikat tanah setelah diserahkan oleh ibunya. Pihaknya tidak mengetahui bagaimana proses peralihan kepemilikan sertifikat dari T hingga akhirnya tercatat atas nama Muhammad Ahmadi.
Bryan berharap pihak kepolisian dapat mengusut tuntas kasus ini dan mengungkap peran pihak-pihak yang terlibat. ***