![]() |
Marlowe Bandem |
DENPASAR – STIKOM Bali bersama para pamerhati kesenian dan budaya tengah berupaya melacak dan memulangkan semua peninggalan seperti artefak Bali yang diyakini masih banyak berada di luar negeri.
Menurut akademisi SIKOM Bali Marlowe Bandem, bentuk upaya dilakukan dengan repatriasai dan restorari untuk mengembalikam semua artefak seni budaya Bali. Peninggalan artefak itu seperti permainan tradsional, taria-tarian dan kesenian lainnya yang terdokumentasikan lewat film dan foto.
“Ke depan kami akan terus lakukan repatriasi, restotasi dan pemulangan kembali artefak-artefak penting yang terkait seni budaya Bali,” tegasnya dalam bincang media di kampus STIKOM Bali, Minggu (30/4/17).
Salah satunya, segera menghadirkan volume terbaru enam dan tujuh yakni berkaitan dengan permainan anak dan seni kerauhan. Tentunya, upaya yang dilakukan itu harus dilakukan secara bersama-sama, berbasis komunitas, institusi lainnya,
Dengan demikian, ke depan akan lebih banyak lagi artefak-artefak yang bisa dipulangkan dari Amerika, Eropa tetapi khususnya keterkaitan dengan Bali dan Belanda. Pasalnya, banyak peninggalan yang belum banyak diketahui publik terkait Bali dan Belanda.
“Ini yang perlu terus kita perjuangkan, karena sangat banyak materi yang penting terkait kesejarahan Bali terutama terkait Puputan Badung,” sambung dia.
Diakuinya, upaya itu tidaklah mudah namun menemui banyak tantangan seperti komunikasi. Untuk mendapat kepercayaan Bali melalui STIKOM untuk menjadi pusat berpulangnya artefak-artefak itu membutuhkan kepercayaan.
Masyarakat asing yang memiliki terutama yang berwenang dengan arsip-arsip tersebut, selama ini belum yakin bahwa orang Bali mau mengurus masalah artefak kesenian. Kemudian, masih ada yang belum yakin bahwa upaya ini sangatlah penting serta memiliki stamina untuk mengurus masalah ini.
Faktor kepercayaan menjadi penting dalam mendukung keberhasilan misi dan tujuan tersebut. Untuk mendapat kepercayaan itu maka diperlukan komitmen kuat, komunikasi yang baik dan didukung anggaran yang saat ini masih dikelola secara independen.
Meski menghadapi banyak kendala, tidak menyurutkan langkah STIKOM Bali karena selama ini pula upaya penyebaran koleksi Bali 1928 ini, mendapat dukungan masyarakat lewat kerja sama dengan institusi-institusi termasuk media.
Marlowe menambahkan, keberadan Koleksi Bali 1928, sudah diketahui pemangku kepentingan di provinsi, kabupaten, termasuk kalangan kampus, perpustakaan. Diakuinya, sejauh ini belum ada kerja sama konkrit dengan pemerintah daerah namun pemerintah daerah terus mendorong upaya yang dilakukan dalam kerangka pengayaan dan pencerdaaan bagi generasi muda Bali.
![]() |
Marlowe Bandem paparkan proyek koleksi Bali 1928 |
Upaya yang dilakukan ini telah dirintis sejak tahun 2013 saat disetujuinya STIKOM Bali sebagai mitra pemulangan dan restorasi arsip Bali. Hanya saja, secara tim proyek ini sudah bekerja sejak satu dekade sebulumnya yang diketuai Dr Edward Herb yang telah mengumpulkan arsip seperti piringan hitam, foto-foto dan film.
Setelah kerja sama dilakukan secara formal 2013 dan telah diluncurkan bulan Juni 2015. Dipilihnya proyek koleksi Bali 1928 kata Marlowe memiliki sejumlah alasan. Secara branding sangat menarik karena periode itu, menandainya kehadiran perusahaan rekaman asing seperti dari Jerman yang melakukan perekaman gamelan dan gending diatas piringan hitam.
“Ini bicara momentum dan sejarah Bali ketika bersentuhan dengan teknologi,” katanya menegaskan. Sebab, dengan teknologi itulah yang kemudian bisa merawat menjaga semua peninggalan kesenian, kebudyaaan dan semua artefak tersebut.
Langkah ini sejalan dengan visi kampus STIKOM Bali yang ingin menjadi kampus kreatif di Tanah Air. “Kaami tidak hanya menempatkan teknologi namun juga seni budaya dan kewirausahaan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,” imbuhnya.
Pendek kata, pihaknya ingin menjadikan kampus tidak tercerabut dari budaya. Jangan sampai ketika sampai pada zona mabuk teknologi kemudian melupakan akar budaya sendiri khususnya di Bai. (rhm)