Kabarnusa.com – Penyakit cacingan yang biasanya menyerang
anak-anak masih menjadi persoalan kesehatan di Indonesia. Kasus cacingan
tidak hanya terjadi di desa-desa saja, tetapi menyebar secara meluas di
wilayah Indonesia terutama di kawasan padat penduduk.
Berdasar
Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian
Kesehatan menunjukkan prevalensi cacingan di Indonesia mencapai 28,12
persen.
Penanggulangan penyakit ini sudah dilakukan
sejak tahun 1995 dengan pemberian obat cacing (antihelmintik) sintetik
seperti Albendazole.
“Hanya saja menimbulkan efek
samping seperti mual, muntah, dan sakit perut,” kata Muhammad Dimas Reza
Rahmana, mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) UGM, saat dihubungi sedang
menjalankan ko-asistensi di RS J Prof.Dr. Soerojo, Magelang, baru-baru
ini.
Prihatin dengan kondisi tersebut, Dimas bersama
ketiga rekannya, Habil Alam Rahman dan Deby Aulia Rahmi juga dari
Fakultas Kedokteran dan Lina Permatasari dari Fakultas Farmasi berupaya
mencari solusi untuk mengatasi permasalahan itu.
Mereka
melakukan penelitian terhadap buah pare (Mommordica charantia L) dan
diketahui bahwa buah ini memiliki potensi untuk mengobati cacingan.
Penelitian dilakukan dibawah bimbingan dosen parasitologi FK UGM, drh.
Sitti Rahmah Umniyati, S.U.
Dimas menyebutkan tanaman
pare baik biji dan daunnya telah terbukti mengandung daya antihelmintik.
Demikian pula dengan buah pare juga mempunyai potensi daya
antihelmintik. Namun begitu, penelitian tersebut masih sangat terbatas.
“Buah pare mengandung senyawa saponin yang mempunyai efek antihelmintik,” jelas Dimas dinukil dalam laman ugm.ac.id.
Sebelum
mengujikan pada cacing gelang yang ada di ayam (Ascaridia galli),
mereka terlebih dahulu membuat pare menjadi ekstrak pare. Selanjutnya,
ekstrak pare yang dilarutkan ke dalam air digunakan untuk menginfus
cacing gelang.
“Cacing dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diisi dengan ekstrak pare,” tuturnya.
Dari
hasil percobaan tersebut diketahui bahwa cacing gelang mengalami
kehancuran dinding sel setelah 11 jam percobaan. Hasil optimal diperoleh
pada pemberian dosis ekstrak pare sebanyak 23 gram pare yang dilarutkan
dalam 100 ml air.
“Setelah dibandingkan dengan cacing
yang direndam dalam Albendazole menunjukkan hasil yang tidak berbeda
sehingga berpotensi dimanfaatkan sebagai obat cacing,” tegas pria asal
Lombok ini.
Dari penelitian ini diharapkan Dimas dapat
memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat terkait efek antihelmintik
buah pare. Namun demikian, kedepan masih diperlukan kajian lebih lanjut
buah pare sebagai alternatif pengobatan cacingan.
“Penelitian
ini masih dalam tahap awal dan masih diperlukan berbagai uji lanjutan
seperti uji pada hewan coba dan uji klinis pada manusia untuk mengetahui
efek antihelmintik buah pare ini,” tutupnya. (ari)