Kabarnusa.com, Denpasar – Paket Bali yang didengungkan di ajang Konferensi Tingkat Menteri KTM ke-9 Wolrd Trade Organization (WTO) di Nusa Dua, Bali dinilai tidak memberi manfaat apapun bagi rakyat bahkan hanya janji-janji kosong untuk negera miskin maupu berkembang.
Direktur Eksekutif lembaga think-tank Focus on the Global South, Pablo Solon, menilai “Paket Bali” menjadikan fasilitas perdagangan sebuah perjanjian yang mengikat, demi pembukaan perbatasan untuk produk perusahaan besar transnasional (TNCs).
“Paket Bali juga membuat janji-janji kosong untuk negara miskin (LDCs) dan usulan ‘peace clause’ yang luar biasa buruk untuk pertanian,” ulasnya dalam keterangan tertulisnya kepada kabarnusa.com,, Jumat (6/12/2013).
Tidak ada yang berguna dipetik dari pertemuan WTO untuk rakyat. Setelah 18 tahun, sambung dia, WTO tidak pernah mewujudkan janjinya dalam pembangunan.
“Yang terjadi, ketimpangan terus direproduksi dan kemakmuran terkonsentrasi pada segelintir orang,” ujar Josua Mata Sekretaris Jenderal SENTRO, aliansi buruh di Filipina
Diketahui, menurut World Trade Report tahun 2013, 81 persen ekspor terkonsentrasi di lima perusahaan ekspor-impor terbesar.
Senada dengan itu disampaikan Jean Enriquez dari organisasi World March of Women bahwa WTO telah mati suri selama 12 tahun dan negara serta masyarakat internasional harus menerima bahwa lembaga ini telah gagal dan kehilangan legitimasinya.
“Hari ini, WTO mencoba bangkit kembali dari kematian mereka, mengembalikan kredibilitasnya dengan Paket Bali yang mengancam masa depan kita semua,” terang Cindy Wiesner dari Grassroots Global Justice Alliance.
Pertanian tidak bisa dimasukkan dalam negosiasi perdagangan bebas, karena pangan bukan sekadar komoditas.
Semua negara harus punya tanggung jawab untuk menggunakan segala cara untuk menjamin kedaulatan pangan rakyatnya,” kata Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia–juga pemimpin di La Via Campesina, gerakan petani internasional dengan anggota lebih 200 juta orang di 85 negara.
Paket Bali adalah tipuan untuk rakyat kecil dan lapar di seluruh dunia. Untuk apa kemanusiaan harus memohon kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menjamin hak atas pangan untuk semua?
Negosiasi Paket Bali amat sangat tak masuk akal. Hak atas pangan, hak bertahan hidup bagi petani kecil tidak bisa menjadi wewenang WTO atau di lembaga mana pun.
Di bawah WTO, kata dia, negara maju menyubsidi sektor pertanian mereka dengan jumlah luar biasa.
Sekira 300 miliar dollar digelontorkan untuk subsidi petani dan perusahaan pertanian di negara maju, sementara petani kecil di negara miskin dan berkembang tak diijinkan dalam skema pertanian rejim perdagangan bebas dunia.
“Hak atas pangan adalah hak asasi yang universal. Tirani WTO tidak bisa mengatur hak-hak fundamental ini.
Pertanian tidak bisa dimasukkan dalam negosiasi perdagangan bebas, karena pangan bukan sekadar komoditas.
“Semua negara harus punya tanggung jawab untuk menggunakan segala cara untuk menjamin kedaulatan pangan rakyatnya,” kata Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia. (gek)