Tarian Sakral Sanghyang Jaran Dipentaskan, Menetralisir Bumi dan Tolak Bala

Tarian sakral Sanghyang Jaran dipentaskan di Kabupaten Klungkung Bali sebagai ritual untuk menetralisiri kembali bumi dan menolak bala atau kejahatan

1 Juli 2022, 07:52 WIB

Klungkung – Sebuan tarian sakral dinamakan Sanghyang Jaran dipentaskan di Kabupaten Klungkung Bali sebagai ritual untuk menetralisiri kembali bumi dan menolak bala atau kejahatan

Bertempat di Pura Puseh Sari Banjarangkan, tarian sakral dipentaskan pada saat pujawali atau piodalan di Pura Puseh Taman Sari, Desa Adat Banjarangkan, Rabu (29/6/2022) malam.

Tarian ini dipentaskan satu tahun sekali untuk menetralisir bumi dan menolak bala (penyakit) untuk warga Desa Banjarangkan.

Tarian ini memiliki makna spiritualitas dan religiusitas yang tinggi merupakan warisan pengempon Puseh Sari dilengkapi dengan pelawatan Ida Batara berupa Kuda terbuat dari kayu, beserta atribut lainya dengan 3 (tiga) jenis warna sanghyang yakni Sanghyng berwarna Putih, Sanghyang berwarna Kuning, dan Sanghyang Berwarna Poleng (hitam putih).

“Pementasan Sanghyang Jaran dilakukan melalui serangkaian upacara yang kompleks termasuk tarian wali karena memerlukan serangkaian upacara untuk mementaskannya,” tutur Bendesa Adat Banjarangkan, A.A Gede Dharma Putra.

Dijelaskan A.A Gede Dharma Putra, Sanghyang Jaran diturunkan atau napak pertiwi untuk menetralisir bumi dan menolak bala.

Ritual diawali persembahyangan bersama yang dipimpin pemangku pemucuk Pura Puseh Sari.

Setelah sembahyang berakhir, sekaa kidung sanghyang akan duduk bersila tepat di depan bangunan pelinggih Pengaruman disiapkan pengasepan (terbuat dari tanah liat yang diisi dengan bara api) di atas sebuah dulang.

Penglingsir memolesi pamor ke tubuh sekaa kidung dan penari yang sudah kerangsukan dengan tapak dara yang telah disiapkan. Ketika bara api sudah dirasa siap, maka sekaa kidung yang terdiri dari teruna teruni, mulai melantunkan nyanyian pemanggil roh sanghyang.

Sanghyang Jaran baru akan beraksi ketika lagu sudah dimulai. Semakin lama tempo dan irama nyanyian semakin kencang, Sang pemundut (penari) mulai kehilangan kesadaran dengan mengepak-ngepakan badannya layaknya seekor kuda. Semakin lama, tubuh penari semakin kehilangan kontrol untuk menuju ke api.

Sang penari pada puncaknya akan melompati dan menginjak-nginjak bara api yang telah disediakan secara membabi buta. Seketika penari mulai tak sadarkan diri nyeburin bara api dan jatuh di tengah arena pementasan. Beberapa diantaranya berjalan di atas bara api yang telah berserakan di tanah.

“Mereka tak merasakan panasnya bara api, tak ada yang terluka, apalagi terbakar,” tuturnya.

ltulah gambaran sekilas tarian sakral Sanghyang Jaran yang dipentaskan di Jaba Pura Baleagung, Pura Puseh Taman Sari, Desa Adat Banjarangkan, Klungkung,” jelasnya tokoh adat Desa Banjarangkan ini.

Seeka gending melantunkan bait demi bait untuk mengiringi Sanghyang Jaran napak pertiwi. Kekidungan yang digunakan menggunakan kekidungan khas yang hanya ada di Pura Puseh Sari.

Dari kidung atau nyanyian yang dilantunkan dapat ditafsirkan bahwa Sanghyang Jaran dibangunkan untuk diajak meliang-liang atau melila cita atau jalan-jalan, kemudian diakhiri dengan harapan semua senang, bahagia (pada girang).

A. A Gede Dharma Putra berharap tarian Sanghyang Jaran menjadi menjadi tonggak baru bagi kehidupan masyarakat di Desa Banjarangkan ke depan agar lebih maju, makmur dan terlepas dari berbagai petaka.

“Perubahan musim yang ekstrem, dimana penyakit dan wabah akan menyelimuti bumi. Untuk mencegah penyebaran penyakit inilah, Sanghyang Jaran diturunkan atau napak pertiwi untuk menetralisir bumi yang sedang mengalami ketidakseimbanga,” AA Gede Dharma menambahkan. ***

Artikel Lainnya

Terkini