I Nengah Surata Adnyana berhasil meraih gelar doktor di Unud setelah melakukan penelitian sistem agribisnis tumpangsari cabai-tembakau/ist. |
Denpasar – I Nengah Surata Adnyana, tenaga harian lepas-tenaga bantu penyuluh pertanian Kementerian Pertanian meraih gelar doktor setelah melakukan penelitian sistem agribisnis tumpangsari cabai-tembakau.
Gelar doktor diraihnya, setelah berhasil mempertahankan disertasi dengan judul “Model Penguatan Kelompok Tani Pada Sistem Agribisnis Tumpangsari Cabai-Tembakau di Provinsi Bali” dalam ujian terbuka promosi doktor pada Program Studi Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) di Denpasar, Kamis (18/6/2020).
Pria kelahiran Bugbug, 4 Mei 1978 mengaku, ide awal letertarikannya melakukan penelitian karena melihat perkembangan komoditi cabai dan tembakau secara nasional maupun yang ada di Provinsi Bali terus mengalami fluktuasi dari segi luas panen, produksi dan produktivitasnya.
“Sehingga perlu dicarikan solusi untuk mengatasinya, apalagi Bali sangat berpotensi dalam mengembangkan sistem tumpangsari cabai-tembakau,” tuturnya.
“Salah satu komoditi pertanian Indonesia yang memiliki potensi lokal yang pengembangannya berbasis kerakyatan yaitu komoditas tumpangsari cabai-tembakau.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar. ini menuturkan, setelah melihat permasalahan yang ada perlu dibuatkan model penguatan kelompok tani yang sesuai pada sistem agribisnis tumpangsari cabai-tembakau.
Model ini menggambarkan dan menyederhanakan fenomena yang nyata dari sistem agribisnis tumpangsari cabai-tembakau dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting serta mengabaikan unsur-unsur tidak penting sehingga bisa dijadikan sebagai acuan kerja.
Suami Nyoman Dewi Maryani ini memaparkan, bahwa produksi buah cabai di Bali rata-rata 11.219 kg/ha dan termasuk kategori rendah.
Penyebabnya dari teknis pembibitan, pemeliharaan bibit dipesemaian, pemasangan mulsa, pemeliharaan dan penangan panen masih kurang dari standar operasional yang telah ditetapkan oleh pemerintahs.
Sedangkan rata-rata produksi tembakau 1.023 kg kering/ha dan juga termasuk kategori rendah.
“Hal ini disebabkan teknis pembibitan, pemeliharaan bibit dipesemaian, pemasangan mulsa, pemilihan benih, pemeliharaan dan penanganan panen masih kurang diterapkan dengan baik,” ujar Surata.
Surata mengungkapkan rata-rata pendapatan petani sebesar Rp 103.811.799 juga tergolong kategori rendah.
Rendahnya pendapatan disebabkan oleh beberapa hal seperti rata-rata produksi cabai-tembakau yang masih rendah, semakin meningkatnya biaya pembelian pupuk, benih, pestisida, tenaga kerja serta harga jual produksi yang masih dihargai rendah.
“Penjualan masih kebanyakan dilakukan dalam desa sendiri, tempat penjualan kebanyakan di pengepul, harga masih ditentukan oleh pasar secara umum melalui pengepul, informasi pasar masih kurang intensif didapatkan,” ungkap ayah dari Putu Indira Mahayani dan Made Pande Dharma Wiratama.
Keberadaan usahatani tumpangsari cabai-tembakau perlu dikembangkan lebih lanjut karena telah memiliki potensi berupa keberadaan kelembagaan yang baik seperti kelompok tani, komoditinya bisa diusahatanikan sepanjang tahun, memiliki kapasitas produksi yang baik serta memiliki permintaan pasar yang sangat terbuka, terutama komoditas cabainya, serta memiliki keberadaan kelembagaan penyuluhan yang dapat dioptimalkan keberadaannya.
Permasalahan yang dialami selama ini yaitu subsistem usahatani, subsistem pemasaran, produksi dan pendapatan yang masih tergolong kategori rendah sehingga perlu dilakukan terobosan yang kongkrit di lapangan.
Salah satu usaha yang telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dalam melakukan suatu peningkatan Sumber Daya Manusia Petani tumpangsari cabai-tembakau yaitu melalui penerapan sekolah lapang.
Pelaksanaan sekolah lapang terbukti lebih epektif terhadap peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan perubahan sikap petani kearah yang lebih baik dalam melaksanakan usahatani dan memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani. (ahs)