Yogyakarta – Rencana pemerintah untuk kembali menggunakan formula perhitungan upah minimum yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2023 menuai penolakan keras dari kalangan buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Massa Pergerakan Buruh Indonesia (MPBI) DIY secara tegas menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah mundur yang menempatkan nasib pekerja dalam ancaman kemiskinan struktural.
Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, menyatakan formula PP 56/2023 terbukti gagal dalam mengejar laju kebutuhan hidup riil para buruh.
Ia memprediksi, jika formula tersebut tetap digunakan, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk tahun depan akan kembali stagnan.
“Kalau pemerintah tetap memakai formula itu, naiknya ya hanya sedikit, mungkin cuma ratusan ribu. Dengan harga pangan, perumahan, dan transportasi yang terus melambung, kenaikan seperti itu sama sekali tidak punya arti bagi buruh,” ujar Irsad Selasa (25/11/2025).
MPBI DIY tidak hanya menolak, tetapi juga mengajukan angka konkret sebagai solusi.
Berdasarkan survei kebutuhan dasar yang mereka lakukan di Yogyakarta, MPBI menyimpulkan bahwa upah minimum yang layak berada di kisaran Rp 4 juta per bulan.
Irsad menegaskan, dengan posisi upah saat ini, UMK di DIY setidaknya harus naik minimal 50% untuk mengangkat buruh dari jebakan kemiskinan struktural.
Ia menekankan tuntutan angka ini bukanlah klaim tanpa dasar.
“Ini bukan angka asal. Ini angka kebutuhan dasar, angka martabat manusia. Karena itu kami tegaskan, UMP/UMK yang layak sekitar Rp4 juta. Itu baru standar yang menghormati prinsip HAM, hak atas penghidupan yang layak,” tegasnya, menyerukan pentingnya martabat dalam penetapan upah.
Mendesak Pengembalian ke KHL
Menyikapi polemik ini, MPBI DIY mendesak pemerintah untuk segera menghentikan penggunaan formula yang mereka sebut “anti-buruh”. Mereka menuntut proses penetapan upah minimum dikembalikan ke mekanisme berbasis Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
MPBI menilai KHL sebagai mekanisme yang lebih partisipatif dan manusiawi, karena mempertimbangkan secara komprehensif seluruh komponen kebutuhan pekerja.
“Upah bukan sekadar angka teknis. Ini soal kehidupan, soal masa depan keluarga buruh,” pungkas Irsad.***

