Jakarta – Angin perubahan tarif iuran BPJS Kesehatan kembali berhembus, namun kali ini disambut badai kritik dan desakan. Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyerukan jeda, meminta pemerintah menahan diri dari keputusan terburu-buru yang berpotensi membebani rakyat. Mereka menuntut kajian mendalam dari hulu ke hilir dan audit besar-besaran terhadap dugaan fraud yang merongrong keuangan jaminan kesehatan kita.
“Jangan sampai rakyat jadi korban lagi!” seru Tulus Abadi, Ketua FKBI, dengan nada prihatin.
Keputusan menaikkan iuran ini tak bisa hanya berdasar angka-angka kasat mata. Lanjut dia, Kita harus tahu apa akar masalah sebenarnya. Apakah ini karena salah urus? Atau ada kebocoran yang tak terdeteksi?”
Subsidi yang Tertunda, Beban untuk Mereka yang Paling Lemah
Abadi menyentil, mengapa alih-alih membebani rakyat, pemerintah tak memilih jalan subsidi yang lebih besar untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)? Bukankah mayoritas peserta sudah dicover APBN? Namun, ada satu kelompok yang sering terlupakan: peserta mandiri kelas 3, yang hidupnya sudah pas-pasan.
“Ini bukan hanya soal angka, ini soal keadilan sosial!” tandas Abadi. “Pemerintah dan manajemen BPJS Kesehatan harusnya fokus membersihkan rumah mereka sendiri. Audit tuntas terhadap praktik fraud adalah langkah pertama. Ini bukan rahasia lagi, dugaan penipuan ini jelas menjadi pemicu kerugian finansial BPJS Kesehatan!”
Penyakit Tak Menular: Mesin Penggerus Dana Triliunan Rupiah
Namun, di balik semua itu, ada musuh lain yang diam-diam menggerogoti kas BPJS Kesehatan: penyakit tidak menular (PTM). Stroke, jantung koroner, kanker, diabetes – nama-nama ini bukan hanya daftar penyakit, melainkan daftar pemborosan triliunan rupiah. Pada tahun 2024 saja, Rp 37 triliun habis untuk merawat pasien-pasien ini.
“Ini adalah bom waktu yang kita biarkan meledak!” seru Abadi, menyuarakan frustrasinya. “Pemerintah seolah membiarkan prevalensi PTM terus meroket. Di mana upaya mitigasi serius? Di mana kendali terhadap konsumsi minuman manis dan rokok yang menjadi pemicunya? Faktor-faktor inilah yang menjadi biang kerok ambrolnya arus kas BPJS Kesehatan!”
Ekonomi Terpuruk, Beban Baru Tak Termaafkan
Situasi ini semakin pelik dengan kondisi ekonomi Indonesia yang sedang limbung. Bank Indonesia bahkan menyebutnya setara dengan era 1970-an, dan prediksi perbaikan masih jauh dari kata pasti akibat ketidakpastian global.
“Menambah beban iuran di tengah ekonomi yang sedang sakit adalah keputusan yang tak termaafkan!” pungkas Tulus Abadi, menyerukan pemerintah untuk mendengarkan jeritan rakyat dan mencari solusi yang lebih manusiawi demi masa depan jaminan kesehatan nasional kita ***