Yogyakarta – Fenomena thrifting atau berburu pakaian bekas yang awalnya dianggap solusi ekonomis dan ramah lingkungan, kini disoroti sebagai pemicu serius budaya overconsumption dan memperburuk krisis lingkungan akibat limbah tekstil.
Menanggapi isu ini, Puteri Indonesia 2023, Farhana Nariswari, menyerukan kepada masyarakat untuk menolak impor pakaian bekas dan beralih mendukung produk serta industri lokal Indonesia.
Seruan ini mengemuka dalam Diskusi Komunikasi Magister (Diskoma) Fisipol UGM bertajuk “Di Balik Euforia Thrifting: Gaya Hidup, Krisis Lingkungan, hingga Ilusi Keberlanjutan” pada Kamis (27/11), yang digelar secara daring.
Brand Ambassador Sahabat Lingkungan, Pujia Nuryamin Akbar, secara tegas menyoroti bahaya lingkungan yang tersimpan dalam pakaian bekas.
Dia menjelaskan mayoritas pakaian bekas impor terbuat dari poliester yang mengandung senyawa mikroplastik.
“Partikel ini tidak hanya berakhir di TPA, tetapi juga ketika dicuci mikroplastik ini akan meluruh dan akan berakhir di lautan,” tegas Pujia, membongkar ilusi ramah lingkungan di balik praktik thrifting impor.
Pujia juga mengingatkan istilah thrift sendiri secara historis sejak abad ke-14 mengandung makna kehematan dan penggunaan sumber daya yang bijak, jauh berbeda dengan perkembangan thrifting saat ini yang didorong oleh tren digital dan budaya konsumtif.
Sementara itu, Puteri Indonesia 2023, Farhana Nariswari, memaparkan data mengejutkan mengenai ketimpangan distribusi limbah tekstil global yang dipicu oleh fast fashion. Farhana mengungkapkan bahwa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sering kali menjadi tujuan akhir dari pakaian donasi negara maju.
“Hanya sekitar 10 persen pakaian donasi yang benar-benar dipakai kembali. Sisanya 90 persen menjadi limbah yang berakhir di negara-negara berkembang,” jelas Farhana, menggarisbawahi tantangan serius bagi pemerintah dan industri lokal.
Menghadapi tantangan tersebut, Farhana menekankan pentingnya apresiasi tinggi terhadap produk lokal sebagai solusi berkelanjutan yang mendukung ekonomi bangsa.
Ia memperkenalkan konsep produk buatan tangan berkualitas tinggi (artigianale) dan mengaitkannya dengan kekayaan tekstil tradisional Indonesia.
“Saya menggunakan kain dari berbagai daerah dalam sesi pemotretan dan berbagai kegiatan selama rangkaian acara Puteri Indonesia sebagai bentuk dukungan kepada para perajin lokal,” tandas Farhana.
Ia mengajak seluruh konsumen Indonesia untuk kembali mencintai dan membeli produk-produk dari tangan perajin nusantara seperti tenun dan batik. ***

