Gorontalo — Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Cabang Gorontalo mendesak Polda Gorontalo agar bersikap transparan dan profesional dalam menangani kasus dugaan pemalsuan ijazah yang menyeret nama Wakil Bupati Gorontalo Utara (Gorut). Desakan ini muncul setelah publik menilai penanganan kasus tersebut berjalan lambat dan tidak ada kejelasan perkembangan hukum dari aparat penegak hukum.
Sekretaris Umum PERMAHI Gorontalo, dalam pernyataannya kepada media (10/11/25), menegaskan bahwa kasus ini telah menjadi perhatian serius masyarakat karena menyangkut integritas pejabat publik dan kredibilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ia menilai bahwa diamnya institusi hukum justru dapat memunculkan kecurigaan publik terhadap adanya intervensi politik atau upaya untuk “mengamankan” kasus tersebut.
“Kami meminta Polda Gorontalo untuk membuka ke publik sejauh mana proses hukum dugaan ijazah palsu Wakil Bupati Gorontalo Utara telah berjalan. Jangan biarkan publik berspekulasi. Hukum harus berdiri tegak di atas keadilan, bukan di bawah tekanan kekuasaan,” tegasnya.
PERMAHI juga menyoroti adanya kejanggalan dalam riwayat pendidikan Wakil Bupati, di mana tercatat pernah bersekolah di SMP Negeri 4 Bulungan Jakarta tahun 1982, sementara ijazah SMA diterbitkan pada tahun 2002 selisih waktu dua dekade yang dinilai tidak logis tanpa penjelasan administratif yang sah. Tak hanya itu, beredar pula dokumen ijazah Paket C yang diterbitkan pada tahun berbeda, menimbulkan dugaan adanya ijazah ganda atau bahkan dokumen palsu.
Dalam konteks hukum, dugaan ini termasuk dalam tindak pidana pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara. Karena itu, PERMAHI menilai penting bagi kepolisian untuk mengumumkan tahapan penyelidikan atau penyidikan yang telah dilakukan agar publik mengetahui keseriusan aparat dalam menegakkan supremasi hukum.
Lebih jauh, PERMAHI menilai kasus ini tidak hanya menyangkut persoalan pribadi pejabat, tetapi juga menjadi uji moral dan hukum bagi aparat penegak hukum di Gorontalo.
“Jika kasus ini dibiarkan menggantung tanpa kejelasan, maka publik akan menilai hukum di daerah ini tumpul ke atas namun tajam ke bawah,” Sekretaris Umum PERMAHI.
Aktivis hukum itu juga mengingatkan bahwa setiap pejabat publik wajib memiliki keabsahan dokumen pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena ijazah menjadi dasar legalitas pencalonan dalam pemilihan kepala daerah. Jika terbukti palsu, maka secara hukum pejabat tersebut dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat administrasi dan bahkan bisa diberhentikan dari jabatannya sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
PERMAHI berencana akan melayangkan surat terbuka kepada Kapolda Gorontalo dan meminta Komisi III DPR RI untuk mengawasi penanganan kasus ini. Mereka juga berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum secara kritis agar tidak ada praktik penundaan, intervensi, atau kompromi hukum di balik kasus yang telah mencoreng wibawa pemerintahan daerah ini.
“Keadilan tidak akan lahir dari diamnya hukum. Jika aparat tidak berani menegakkan kebenaran, maka mahasiswa akan turun untuk menagihnya,” tutup pernyataan resmi PERMAHI Gorontalo.***

