Tunda Ratifikasi FCTC, SBY Diintervensi Industri Rokok

15 Maret 2014, 07:38 WIB

KabarNusa.com, Denpasar – Tak kunjung
ditekennya ratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memunculkan dugaan hal itu tak
lepas dari kepentingan industri rokok.
 

Banyak
kalangan menyesalkan, langkah SBY yang mengulur-ulur ratifikasi FCTC.
Itu berarti, dia telah mempertaruhkan di akhir masa jabatannya. 

Padahal,
mestinya presiden haruslah memihak rakyat yang berhak mendapatkan
kesehatan yang layak terbebas dari paparan asap rokok.

Dalam
penilaian Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Hery Chariansyah
pernyataan Sekretarias Kabinet Dipo Alam, soal belum diratifikasinya
FCTC, dalihnya kepentingan ekonomi untuk petani rokok dan penerimaan
cukai, merupakan cara pandang yang menyesatkan.

“Kami sangat
tersinggung statemen Dipo yang memberi alasan menyesatkan, secara logika
tidak bisa diterima. Jangan beralasan presiden tidak gegabah
meratifikasi FCTC, karena memperhatikan nasib petani tembakau dan cukai
rokok, ” tuding Hery di sela pertemuan Management and Leadership of
Tobacco Control di Kuta, Jumat (14/3/2014).

Dalih
mempertimbangkan penerimaan cukai rokok sebanyak Rp 110 triliun, juga
menyesatkan. Jumlah itu tidak sebanding efek ditimbulkan karena biaya
yang harus dikeluarkan untuk membiayai kesehatan masyarakat terutama
anak-anak akibat dampak buruk rokok jauh lebih besar.

Banyak
penelitian dengan gamblang menjelaskan, bahwa masyarakat yang menjadi
korban paparan asap rokok, tidak bisa dihargai dengan uang.

Hal
sama disampaikan Dianita Sugiyo dari Muhammadiyah Tobacco Control Centre
(MTCC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang menilai apa yang
digembar gemborkan pemerintah bahwa petani tembakau hidupnya sejahtera
faktanya bertolak belakang.

Alasan belum diratifikasinya FCTC, karena ingin melindungi petani tembakau, tak lain untuk menutupi kepentingan industri rokok.

“Kami
melakukan penelitian di Temanggung, kesaksian petani tembakau di sana
hidupnya jauh seperti yang digambarkan selama ini sejahtera dan kaya
raya,” terangnya.

Selain harus menghadapi serangan cuaca di musim
hujan, sehingga praktis tembakau hanya hidup Maret sampai Agustus, juga
mereka dipermainkan oleh tengkulak yang seenaknya memainkan harga.

Petani tidak memiliki akses untuk menjual tembakau ke perusahaan karena sistem perdagangan komiditi itu dikuasai para tengkulak.

Dia mensinyalir, berkembangnya industri rokok di Tanah Air tak lain karena mendapat pasokan bahan baku dari impor.

Karenanya,
penjelasan Dipo soal belum ditekennya ratifikasi FCTC tersebut, seolah
membela kepentingan petani dinilai menyesatkan dan bisa membuat bingung
masyarakat.

Ketua Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Udayana Bali Ayu Swandewi melontarkan hal serupa, bahwa dari 177 negara,
hanya Indonesia dan Somalia yang belum meratifikasi FCTC.

“Sebagai
negara mayoritas beragama Islam dan anggota OKI, Indonesia mestinya
malu dengan negara lainnya yang sudah meratifikasi FCTC,” imbuh dia 

Sebelumnya,
Sekretaris Kabinet, Dipo Alam mengatakan sampai saat ini, Perpres
tersebut belum diterima sehingga penandatanganan pun belum dilakukan.
Untuk meratifikasi FCTC, memerlukan banyak pertimbangan. 

Menurut
Dipo, selain memperhatikan nasib petani tembakau, pemerintah juga
memperhatikan pemasukan senilai Rp110 triliun yang dihasilkan dari cukai
tembakau. Belum lagi total penerimaan negara Rp150 triliun dari PPH dan
pajak daerah.

“Memang pada saat ini, ratifikasi FCTC belum kami
terima. Kami sedang menunggu. Industri ini sangat penting. Jadi kita
tidak akan gegabah untuk itu. Yang paling penting adalah petani tembakau
dan petani cengkeh diberikan kemampuan teknis agar mampu bertahan dari
segi ekonomi,” papar Dipo. (rma)

Berita Lainnya

Terkini