Ubud – Ubud Art Ground (UAG) resmi diluncurkan sebuah ruang seni dan budaya bertaraf internasional yang bakal memfasilitasi berbagai aktivitas yang berakar tradisi dalam ekspresi seni kontemporer.
Ubud Art Ground yang diinisiasi Yayasan Satya Djaya Raya ini berlokasi di Gudang Kayu, Batu Kurung Estate, Kedewatan yang merupakan wujud komitmen pada pelestarian dan pengembangan budaya secara berkelanjutan.
Peresmian Ubud Art Ground pada Jumat 11 Juli 2025 ditandai dengan pembukaan pameran seni kontemporer ‘Parallels: Legacies in Flux’, yang mempertemukan 71 seniman dari Bali dan Tiongkok dalam satu ruang wacana kreatif. Karya yang dipamerkan menggali ulang dan mereinterpretasi warisan visual kedua budaya dalam konteks zaman yang terus bergerak.
Momen pembukaan ditandai dengan ritual simbolik ‘pangurip-urip’ pada seni instalasi perahu dan naga karya Made Djirna bertajuk ‘Transient–Continuous’ melalui torehan tiga warna sakral—merah, hitam, dan putih yang dilakukan antara lain Wakil Dubes RI di Beijing, Parulian George Andreas Silalahi, Penglingsir Puri Agung Ubud, Tjokorda Gde Putra Sukawati, dan Osbert Lyman dari Lyman Group.
Yulia Kurniawan, Direktur Yayasan Satya Djaya Raya mengatakan Ubud Art Ground merupakan bentuk nyata dari keyakinan bahwa warisan budaya harus tumbuh dan berkembang. “Warisan budaya bukanlah sesuatu yang statis, tetapi terus bergerak bersama zaman melalui tangan-tangan seniman yang visioner,” ungkapnya.
Direktur Ubud Art Ground Yuanita Savitri mengatakan UAG bukan sekadar ruang seni, melainkan ekosistem dialog yang menghubungkan seniman, pemikir, dan publik dalam ruang yang saling terhubung antara tradisi dan keberanian berekspresi.
“Insiatif ini diharapkan menjadi pengalaman seni yang hidup, reflektif, dan berdampak lintas generasi dan budaya,” kata Yuanita.
Kata dia dalam jangka panjang di lokasi tersebut akan dibangun art center seluas 2.000 m² yang diproyeksikan menjadi tempat program residensi seniman, forum edukatif, serta laboratorium gagasan seni lintas budaya dan generasi.
Yuanita menjelaskan Ubud Art Ground bakal aktif mendorong kolaborasi lintas budaya dan lintas generasi, menciptakan ekosistem seni yang berkelanjutan, dan menjadi pusat pertukaran pemikiran, praktik seni, serta eksplorasi kreatif yang berakar pada konteks lokal namun terbuka secara global.
Pameran ‘Parallels: Legacies in Flux’ mengeksplorasi bagaimana budaya Bali dan Tiongkok menavigasi perubahan zaman melalui pendekatan yang menghormati sekaligus merekonstruksi warisan seni rupa.
Pameran yang dikurasi Farah Wardani (Indonesia) dan Prof. Qiu Ting (Tiongkok) ini berlangsung hingga 10 Agustus 2025 yang diisi pula dengan tur kuratorial, diskusi bertema ‘Contemporary Translations of Traditional Art’, workshop, pasar artisan, dan pertunjukan budaya yang membuka ruang interaksi antara seniman dan masyarakat.
Kurator Farah Wardani menyajikan karya 51 seniman Bali, baik yang masih aktif maupun yang telah meninggal dunia, melalui lima pendekatan:
1. Prelude: A Master’s Touch: Menampilkan karya instalasi luar ruang dari maestro Made Djirna bertajuk ‘Transient Continuous/Numpang Lewat-Berkelanjutan’, yang merespons area Gudang Kayu.
2. Continuum: Menampilkan beragam karya tentang legasi dan perubahan masyarakat Bali dari perupa Bali berbagai generasi.
3. Spectrum: Menampilkan karya sejumlah perupa kontemporer yang menafsirkan tradisi dengan individualitas dan konteksnya masing-masing
4. Tradition Today: Beragam karya dari sejumlah perupa generasi baru yang menafsirkan tradisi dalam pendekatan kontemporer.
5. Legacies in Flux: A Timeline: Menampilkan sejumlah karya maestro tradisi Bali dengan linimasa sejarah seni rupa.
“Pameran ini tidak hanya menampilkan karya, tapi juga membuka percakapan tentang legasi, perubahan masyarakat, dan inovasi dalam seni yang berpijak pada tradisi,” tutur Farah Wardani.

Sementara itu, kurator Prof. Qiu Ting (Dekan School of Chinese Painting dari Central Academy of Fine Arts (CAFA), Beijing) menghadirkan 20 seniman dengan karya yang berbasis teknik lukisan tinta tradisional guohua dalam bentuk dan narasi kontemporer.
CAFA juga menghadirkan 33 karya tambahan dari pengajar utama, seniman delegasi Indonesia, dan seniman penerima beasiswa dari Lie Siong Tay Charitable Foundation.
“Kolaborasi antara CAFA dan UAG merupakan ruang lintas budaya yang mempertemukan dua tradisi visual besar Asia. Pameran ini mendorong generasi seniman muda untuk membaca ulang warisan dengan cara baru yang relevan terhadap masa kini,” kata Prof. Qiu Ting.
Seniman dari Bali yang ikut dalam pameran ini adalah Agung Pramana, Agus Mediana Cuprux, A.A. Gede Raka Puja, Arie Smit, Aris Sarmanta, Budi Agung Kuswara, Darmika Solar Dewa, Made Johana, Eka Mardiyasa, Eka Sutha, Gusti Dalem, I Dewa Nyoman Jati, I Dewa Putu Bedil, I Dewa Putu Mokoh, I Gede Sukarya, I Gusti Ayu Kadek Murniasih, I Gusti Made Deblog, I Ketut Ginarsa, I Ketut Kasta, I Made Arya Palguna, I Nyoman Lesug, I Nyoman Londo, I Wayan Danu, I Wayan Sika, I Wayan Taweng, dan I Wayan Tojiwa.
Selain itu ada Ida Bagus Putu Sena, Jemana Murti, Kemalezeddine, Ketut Soki, Ketut Sudiwiarta, Kuncir Sathya Viku, Made Aswino Aji, Made Djirna, Made Gede Putra, Made Griyawan, Made Wianta, Made Wiradana, Mangku Mura, Mangku Muriati, Mia Diwasasri, Ni Gusti Agung Galuh, Ni Luh Pangestu, Ni Made Suciarmi, Ni Nyoman Sani, Nyoman Darmawan, Nyoman Gunarsa, Satya Cipta, Suarimbawa Dalbo, Valasara, dan Wayan Upadana.
Sedangkan seniman dari Tingkok adalah Lin Mao, Tang Yongli, Qiu Ting, Xie Qing, Zhang Meng, Bian Kai, Wang Hongzhou, Wu Changpu, Peng Jinhui, Li Yixuan, Fan Lingchao, Qiu Yuefu, Yao Lejin, Liang Chenyi, Fu Yunfei, Zhang Dingyou, Cheng Shihao, Wang Zha, Tian Shengrong, dan Zhu Ruichen.***