Ulah Pengusaha Tambang, Penerimaan Negara Rp628 M Menguap

20 Februari 2014, 07:39 WIB
Ali Masykur Musa (Foto:Kabarnusa)

Kabarnusa.com, Denpasar – Banyak perusahaan tambang yang mengeruk sumber daya alam di Tanah Air tidak memenuhi kewajibannya membayar pajak sehingga negera dirugikan dengan kehilangan potensi penerimaan hingga Rp628 Miliar lebih.
 

Celakaya, banyak pengusaha menggarap pemanfaatan hutan yang tidak berizin untuk kegiatan tambang. Akibatnya, potensi pajak menguap lantaran dikemplang pengusaha pertambangan.

“Tahun ini, kami sudah memeriksa perusahaan bidang pertambangan, ternyata mereka kurang bayar atau tidak membayar pajak,” jelas anggota BPK Ali Masykur Musa ditemui di Asram Gandi Puri Denpasar, Rabu (19/2/2014).

Dari laporan terakhir tercatat sekira Rp 628 Miliar lebih, jumlah pajak yang kurang dibayar atau tidak dibayarkan.

Dari pemeriksaan terhadap sampel 20 perusahaan besar dan 60 perusahaan kecil selama kurun 2013 diketahui potensi kerugian negara bidang tambang.

JUmlah itu, baru sampel perusahaan besar dan kecil yang diperiksa BPK dari sekira 10 ribu perusahaan tambang.

“Itu saja, mencapai Rp628 M, BPK tidak mampu memeriksa seluruh perusahaan tambang yang ada,” tukas calon presiden konvensi Partai Demokrat itu.

Ali melihat menang ada kecenderunga, terjadi peningkatan jumlah potensi penerimaan pajak yang menguap dari tahun ke tahun.

Dari catatan BPK, tahu 2012 saja tercatat ada sekira Rp 486 Miliar lebih pajak yang tidak dibayarkan oleh perusahaan.

JUmlah itu meningkat dibanding tahun 2011 yang jumlahnya mencapai Rp328 Miliar lebih penerimaan pajak yang tidak dibayarkan banyak perusahaan.

Atas fakta, banyaknya penerimaan pajak tidak masuk ke kas negara, tidak heran jika Komisi Pemberantasa  Korupsi (KPK) memperkirakan potensi kerugian negara dari pengelolaan sumber daya alam di Indonesia mencapai Rp30 Triliun.

Dalam konteks untuk perusahan agar benar-benar clean dan clear itulah perlu dilakukan evaluasi menyeluruh atas beroperasinya industri tambang di Tanah Air.

“Clear berarti seluruh industri tambang itu benar-benar telah memiliki izin pengelolaan sumber daya alam yang jelas,” imbuh alumnus Universitas Jember itu.

Sedangkan clean berarti mereka harus bersedia mematahui kewajibannya kedepan negara dalam membayar pajak sehingga pajak tidak dikemplang.

Pihaknya telah menyampaikan rekomendasi dalam pengelolaan SDA. Dalam menghitung kerugian negara tidak hanya dilihat dari jumlah dan luas yang dipakai sementara.

Pasalnya, selama ini penerimaan itu dihitung hanya berdasarkan berapa bukit atau sesuai tegakan kayunya, juga berapa kubik yang dihasilkan karena jumlah itu kecil.

“Padaal ada aspek sosial ekonomi yang sebenarnya bisa dimaksudkam dalam penerimaan negara,” tutup Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) itu. (rma)

Berita Lainnya

Terkini