Jakarta – Pakar kajian keamanan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Abdul Haris Fatgehipon menyoroti masih terdapat titik lemah UU 34/2004 tentang TNI berdasarkan kajiannya terhadap filosofi keamanan nasional dan peran TNI.
“UU 34/2004 tentang TNI mengatur lingkup peran, fungsi, dan tugas TNI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara. Namun, ada beberapa otokritik yang mengindikasikan kelemahan dalam beleid ini terkait dengan filosofi keamanan nasional dan peran TNI”, katanya.
Ia menjabarkan bahwa UU 34/2004 dinilai kurang mengakomodasi konsep keamanan nasional yang holistik.
“Keamanan nasional tidak hanya mencakup aspek militer, tetapi juga ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan. UU ini lebih menekankan pada peran militer dalam menjaga keamanan khususnya menjaga kedaulatan dan mempertahankan keutuhan NKRI, sementara aspek-aspek non-militer kurang mendapat perhatian”, tegasnya.
Masih ada yang lebih Urgensi dibahas dibanding RUU Polri
Kita harus banyak mengkaji filosofi keamanan nasional dari pakar, misal Kenneth Waltz seorang pendiri teori realisme struktural atau neorealisme, berpendapat bahwa struktur anarkis sistem internasional memaksa negara untuk mencari kekuatan dan keamanan.
“Negara bertindak untuk bertahan hidup di bawah ketidakpastian dan ancaman dari negara lain”, tukasnya.
Menurutnya, pakar lainnya seperti Barry Buzan yang memperkenalkan konsep keamanan yang lebih luas dalam berbagai dimensi.
“Buzan dalam bukunya “People, States, and Fear” menyarankan bahwa keamanan nasional tidak hanya melibatkan aspek militer, tetapi juga aspek politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Buzan menekankan pentingnya melihat ancaman dalam berbagai dimensi”, urainya.
Diksi ‘Keamanan Nasional’ di RUU Polri Bisa Picu Konflik Antar Lembaga
Baginya, terlebih secara faktual dihadapkan kondisi geografis Indonesia dalam ring of fire (cincin api kebencanaan), peran TNI sudah terbukti diandalkan dalam tugas kemanusiaan dan kebencanaan ini.
“TNI memiliki tugas pokok untuk pertahanan negara, tetapi juga sering terlibat dalam tugas-tugas non-militer seperti bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana, perannya sangat terbukti diandalkan bagi kepentingan umum ini”, jelasnya.
Menurutnya, penguatan peran TNI dalam operasi non-militer dapat diintegrasikan dengan filosofi keamanan nasional yang holistik,
“Mengingat ancaman keamanan saat ini semakin kompleks dan melibatkan berbagai aspek selain militer”, tandasnya.
Ia menegaskan, penguatan peran TNI dalam operasi non militer perlu diperkuat landasan hukum yang jelas.
RUU Polri Perlu Perkuat Redistribusi Bhabinkamtibmas
“Revisi UU TNI yang diinisiasi DPR jadi momentum untuk memberikan landasan hukum yang jelas bagi peran TNI dalam operasi non-militer, termasuk aturan tentang batasan dan mekanisme akuntabilitas agar peran TNI dalam tugas-tugas non-militer tidak melampaui batas dan tetap berada dalam kerangka demokrasi”, tegasnya.
Ia pun berharap secara kelembagaan, TNI harus menjadi bagian integral dari rencana keamanan nasional yang komprehensif.
“Mencakup rencana kontijensi terhadap ancaman non-tradisional seperti bencana alam, perubahan iklim, terorisme, dan krisis kesehatan. Integrasi ini membutuhkan koordinasi yang baik antara TNI dan semua lembaga terkait”, harapnya.
Penulis buku Sejarah Kontemporer TNI dan Politik di Indonesia ini mendorong DPR sebagai penyusun RUU untuk memperkuat filosofi keamanan nasional dan peran TNI.
“TNI sudah terbukti berhasil mereformasi dirinya sebagai lembaga yang paling profesional dalam menjalankan amanat reformasi, kini saatnya DPR dapat mengakomodasi konsep keamanan yang lebih komprehensif guna membangun TNI sebagai garda utama pertahanan negara yang tangguh, kuat dan semakin profesional”, tutupnya.***