![]() |
Ilustrasi/Dok. Kabarnusa |
Jakarta – Permasalahan kinerja dan terutama utang BUMN yang tidak
segera ditangani dengan serius atau malah dibiarkan terus keuangannya
bergantung pada utang maka akan berdampak kepada pekerja atau karyawan BUMN
yang terancam pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori mengungkapkan hal itu saat menyoroti kinerja
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, kinerja BUMN terutama masalah
hutang maka akan berdampak pada penerimaan negara.
“Yang terburuk adalah akan menyasar kepada pekerja atau karyawan BUMN melalui
kebijakan yang tak disukai semua pihak, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dan tentu akan menambah jumlah pengangguran di Tanah Air,” tutur Defiyan dalam
keterangan tertulis diterima Kabarnusa.com, Kamis (10/6/2021).
Memasuki Triwulan II Tahun 2021, perhatian masyarakat atau publik Indonesia
sebagian besar tertuju pada permasalahan kinerja keuangan beberapa BUMN yang
mengalami kerugian dan memiliki jumlah beban utang cukup besar.
BUMN-BUMN yang selama ini dikenal besar dari aspek nama, skala usaha, jumlah
karyawan bahkan kekayaan (asset) dan selama ini terlihat berkinerja baik-baik
saja ternyata memiliki utang yang nilainya fantastis.
Apalagi, ditambah oleh kebijakan Pemerintah di tengah masa pandemi Covid-19
yang belum usai, yang justru tidak sejalan dengan upaya untuk menyehatkan
kinerja sebagian BUMN, kontraproduktif.
“Bahkan seolah sedang menggali lubang untuk kuburan BUMN yang selama ini
menjadi penopang keuangan negara untuk menggerakkan roda perekonomian bangsa,”
sambung alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Apalagi BUMN-BUMN tersebut merupakan cabang-cabang produksi penting dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, baik yang masih 100
persen sahamnya milik negara atau sebagai pemegang saham mayoritasnya
(sebagian telah dipecah sahamnya melalui IPO ke pasar bursa).
Namun demikian, publik atau masyarakat sebagai bagian dari pemegang saham BUMN
(sebagai warga negara Indonesia) juga harus memahami kinerja keuangan BUMN ini
dalam perspektif organisasi usaha atau bisnis yang membutuhkan permodalan
untuk melakukan investasi.
Atau pembangunan dan pengembangan infrastruktur serta jaringan usaha secara
lebih luas, yang mana dapat bersumber dari Penyertaan Modal Negara (PMN) dan
atau Utang.
Dalam posisi ini, maka sejak adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
BUMN serta UU sektoral yang menyertainya, maka kebijakan terhadap PMN tidak
lagi menjadi mudah.
Sebagian sumber permodalan BUMN dalam upaya mengatasi ekspansi usaha atau
bisnisnya, khususnya terkait penugasan dari Pemerintah diselesaikan melalui
pinjaman kepada pihak lain atau pihak ketiga, yaitu lembaga perbankan dan atau
penerbitan surat utang perusahaan.
Bank Indonesia (BI) pada bulan Maret 2021 telah melaporkan jumlah Utang Luar
Negeri BUMN telah mencapai US$59,65 Miliar atau setara Rp 851,160 Triliun
(Kurs Rp 14.400 per dolar AS).
Nilai itu setara dengan 28 persen dari total Utang Luar Negeri yang berada
ditangan swasta atau sejumlah Rp3.042 Triliun dengan efektifitas dan efisiensi
pengelolaan yang belum diketahui.
Pengendalian utang swasta hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah agas
kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membebani rakyat Indonesia
tak berulang kembali.
Permasalahan utang yang membebani keuangan BUMN telah dihadapi oleh maskapai
nasional Garuda Indonesia sejak lama, lalu bertambah berat mengalami kesulitan
keuangan akibat imbas berbagai kebijakan pemerintah c.q. Kementerian
Perhubungan dan dampak pandemi Covid-19.
“Utang perseroan terus mengalami peningkatan, pada akhirnya menumpuk mencapai
Rp70 triliun, dan diperkirakan akan terus bertambah Rp1 triliun tiap
bulannya,” sebut Defiyan.
Selain itu, Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo menyatakan, bahwa kinerja
buruk Garuda Indonesia bersumber dari utang biaya sewa (leasing) pesawat yang
berada di luar batas kewajaran, jenis pesawat yang terlalu banyak, dan rute
penerbangan yang tidak menguntungkan (domain kebijakan Kemenhub).
Oleh karena itu, pada kasus Garuda Indonesia, BUMN Karya dan BUMN lainnya yang
sahamnya telah menjadi milik publik (swasta maupun perorangan), maka
masyarakat sebagai representasi kepemilikan saham Negara berhak menuntut
tanggungjawab mereka untuk tidak hanya menyelamatkan Garuda Indonesia maupun
BUMN lainnya, tetapi menjaga keberlanjutan eksistensi BUMN yang menjadi
sokoguru perekonomian bangsa dan negara.
Berdasarkan kasus ini pula, sebaiknya pemerintah menghentikan rencana dan
upaya IPO pada BUMN strategis lainnya agar kasus serupa tidak berulang yang
kemudian hanya merugikan kepentingan tujuan kemakmuran bersama sesuai mandat
ayat 3 Pasal 33 UUD 1945, hanya memberikan peluang kesejahteraan orang per
orang dan konsumen yang dirugikan. (*)
* Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori