![]() |
ilustrasi |
JAKARTA – Pengesahan RUU Pemilu melalui Sidang Paripurna DPR dan pernyataan Presiden Joko Widodo agar pihak yang merasa tidak puas dengan Undang-undang Pemilu dipersilakan menempuh langkah hukum dinilai sebagai bentuk arogansi pembuat Undang-undang yakni DPR dan Pemerintah.
Hal itu disampaikan Plt. Sekjend KIPP Indonesia Kaka Suminta menanggapi pengesahan UU Pemilu yang baru.
KIPP memberikan catatan yakni pembahasan RUU Pemilu antara DPR dan Pemerintah merupakan pembahasan yang bertele-tele dan tak mengindahkan kepentingan yang lebih besar selain kepentingan politik pembuat Undang-undang.
Karenanya, baik isi maupun agendanya menjadi tidak memenuhi kepentingan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia.
Selain itu, KIPP melihat dari sisi waktu pengesahan UU tersebut telah kadaluarsa, sehingga beberapa agenda penting, seperti rekrutmen penyelenggara Pemilu dan verifikasi Parpol peserta Pemilu tidak dilaksanakan melalui UU Pemilu yang baru.
Agenda penting itu, dilaksanakan dengan menggunakan UU lama, yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi politik saat ini.
“Dari sisi konten UU, banyak pasal yang krusial dan penting tetapi tidak dibahas dengan seksama, seperti soal peran serta masyarakat dalam pemilu, soal politik uang, soal sosial media,” ujar Suminta dalam siaran persnya, Senin (24/7/2017).
Semua masalah itu sebenarnya sudah dirasakan menjadi permasalahan serius dalam Pemilu tak dibahas dengan baik, dan tak memberikan alternatif Perbaikan dalam Pemilu dan demokrasi di Indonesia.
Kemudiam, apa yang disebut isu krusial oleh para pembuat undang-undang seperti soal daerah pemilihan, penambahan kursi DPR dan Presidential threshold tak lain merupakan tarik-menarik kepentingan politik Parpol dalam pelaksanaan Pemilu.
Hal itu, tak terkait langsung dengan kepentingan umum, namun memakan waktu dan energi yang sangat besar, dan memboroskan sumberdaya.
Catatan kelima, disahkannya ambang batas Presiden threshold merupakan pasal yang paling bermasalah, karena jelas-jelas bertentangan dengan keputusan MK Nomor 14 tahun 2013, sehingga bukan hanya inkonstitusional tetapi juga sebanarnya tak layak dibahas oleh DPR dan Pemerintah sejak awal.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka KIPP Indonesia menyatakan pandangan dan sikap
pertama pembahasan RUU Pemilu merupakan pemborosan waktu dan sumberdaya dengan hasil yang sangat mengecewakan, sehingga kita perlu mengevalusai batasan kewenangan pembuat Undang-undang.
“Kedua UU pemilu yang terbentuk merupakan UU yang kadaluarsa, karena tak bisa digunakan untuk pelaksanakan tahapan-tahapan Pemilu yang sudah dan sedang berlangsung,” tandasnya
Ketiga, pemerintah dan DRP perlu diminta pertanggungjawabannya terkait potensi buruk pelaksanaan dan kesinambungan demokrasi melalui apa yang mereka lakukan sebagai pembuat Undang-undang.
Pembentukan UU pemilu dan pernyataan pemerintah merupakan arogansi kekuasaan dan potensial mengganggu masa depan demokrasi di Indonesia.
“Kelima, kami meminta kepada semua pihak yang peduli dengan demokrasi dan masa depan Indonesia untuk memikirkan agenda dan langkah untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia,” imbuhnya
Dengan disahkannya UU pemilu, pihaknya menilai kadaluarsa dan berisi pasal-pasal yang tak sejalan dengan konstitusi, serta kesan arogansi pembuat-undang, yang potensial mengganggu Pemilu dan kesinambungan dan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. (des)