Saat itu, satu dua orang asing mulai datang, bukan untuk tujuan wisata tapi dengan kepentingan lain. Ketika berkunjung ke Bali, satu dua orang asing itu takjub dengan keindahan alam dan keunikan seni dan budaya Bali.
“Mereka mendapati sebuah pulau yang begitu eksotis lalu tertarik membawa kolega lainnya berkunjung. Oleh masyarakat Bali, awalnya mereka belum disebut turis, tapi krama tamiu. Demikianlah awal perkembangan pariwisata Bali,” tuturnya.
Sampai era tahun 70an, budaya masih dominan dan pariwisata masih dianggap sebagai bonus. Seiring makin banyaknya turis yang berkunjung ke Pulau Dewata, sektor pariwisata Bali booming pada tahun 90an yang mulai memicu kekhawatiran akan munculnya ketimpangan antara budaya dan Pariwisata Bali.
Wagub Cok Ace Sebut Pariwisata sebagai Bonus dalam Konsep Ekonomi Kerthi Bali
Kekhawatiran ini kemudian dijawab dengan pembentukan kawasan khusus pariwisata di Nusa Dua yaitu BTDC.
“Tujuannya agar kantong-kantong budaya tetap dijaga,” imbuhnya.
Hanya saja, seiring perkembangan pariwisata hingga mengakibatkan fase ekonomi Bali langsung mengalami lompatan dari sektor primer (agraris) dan sektor tersier (jasa pariwisata), tanpa melewati tahap sekunder.
Panglima Jenderal Andika Perkasa Pastikan Kesiapan Keamanan KTT G20 di Bali
Pergeseran ini menyebabkan Bali belum siap dengan pondasi industri, seperti pengolahan sayur mayur dan buah menjadi produk pangan olahan yang sejatinya dibutuhkan untuk menjaga stabilitas proses produksi hasil pertanian.
“Kita belum siap dengan industri pengolahan. Hasil pertanian seperti buah, sayur dan lainnya hanya dijual begitu saja, padahal fase sekunder sangat kita butuhkan,” ujarnya.
Ketua BPD PHRI Bali ini menambahkan, disharmoni antara budaya dan pariwisata memuncak di era tahun 2000. Ia menyebut Bali berada di persimpangan dan dihadapkan pada pilihan sulit hingga akhirnya sebagian memilih sektor pariwisata yang memang menawarkan kesejahteraan.
Ribuan Bikers HDCI Ramaikan ‘Berkibarlah Benderaku’ di Bali
Ia mengumpamakan budaya dan pariwisata seperti pohon, dimana budaya yang akarnya tumbuh di tanah Bali sebagai bagian batang dan pariwisata ada di bagian ranting yang relatif rapuh.
Sebagian memilih pariwisata atau bagian ranting-ranting kecil, sementara batang dan akarnya terkesan luput dari perhatian. Karena terlalu fokus pada ekonomi.
“Kita lupa merawat batang pohon,ibarat seorang anak lupa pada ibu. Kita telah tersesat cukup jauh karena kepentingan pariwisata. Konsep pariwisata untuk Bali berbalik menjadi Bali untuk pariwisata karena terlalu tunduk pada sektor pariwisata,” ungkap Guru Besar ISI Denpasar ini.
Selain Wagub Cok Ace, Dialog Budaya juga menghadirkan tiga pembicara lain yaitu Dr.Nararya Narottama, Anak Agung Gede Agung Rahma Putra dan Putu Eka Guna Yasa. Pada penghujung acara dialog, Wagub Cok Ace dan tiga pembicara lainnya menerima piagam penghargaan dari panitia penyelenggara yang diserahkan oleh Dekan I FIB Unud I Nyoman Arya Wibawa. ***