Wajib Adaptif atau ‘Keok’! Negara Memasuki ‘Zaman Kuantum’, Algoritma Ambil Keputusan Sendiri

Prof. Rhenald Kasali, mengingatkan jika negara tidak mampu beradaptasi secepat pergerakan teknologi, kekalahan dapat terjadi.

3 Desember 2025, 04:42 WIB

Bekasi — Perubahan dunia tidak lagi linier, melainkan melompat secara kuantum dan membawa ancaman baru yang serba digital. Jika negara tidak mampu beradaptasi secepat pergerakan teknologi, kekalahan dapat terjadi bahkan tanpa mengetahui siapa musuhnya.

Peringatan keras ini disampaikan oleh Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., dalam Keynote Speak pada panel Diskusi Refleksi Akhir Tahun yang diselenggarakan oleh Deep Intelligence Research (DIR), DEEP Indonesia, dan Rumah Perubahan di Bekasi, Senin (2/12).

Guru besar ilmu manajemen itu menegaskan Indonesia sudah memasuki Quantum Age, di mana konflik bisa dipicu hanya oleh algoritma dan keputusan bisa diambil oleh mesin.

“Dulu negara mengirim tentara manusia, sekarang cukup mengirim mesin, drone, dan kecerdasan buatan. Negara dapat terguncang bukan oleh kekuatan militer, melainkan oleh teknologi yang bergerak jauh lebih cepat dari kapasitas institusi negara,” ujar Prof. Rhenald Kasali.

Ia memperingatkan di era ini, intuisi politik saja tidak cukup. Pemerintah harus mengambil keputusan secepat teknologi bergerak untuk mengejar ritme logika digital yang telah dianut oleh masyarakat.

Publik Alami Krisis Kepercayaan Akibat Otoritarianisme dan Kebijakan yang Jauh dari Realitas

Dalam sesi pemaparan riset, Neni Nur Hayati, Direktur DEEP Indonesia dan Direktur Komunikasi DIR, menyajikan hasil riset tahunan berbasis Artificial Intelligence (AI) terhadap 174.730 percakapan publik di media sosial sepanjang tahun 2025.

Temuan riset AI dari DIR menunjukkan adanya penurunan signifikan kepercayaan publik terhadap berbagai sektor nasional.

Isu Dominan: Percakapan publik didominasi isu otoritarianisme, konflik elite, PSU (Pemungutan Suara Ulang) yang berlarut-larut, dan kekecewaan masyarakat terhadap komunikasi kebijakan pemerintah. Lonjakan sentimen negatif terbesar terjadi saat demo nasional 28 Agustus.

Hukum Dianggap Tidak Konsisten: Narasi seputar RUU KUHAP serta kasus-kasus besar seperti Hasto, Tom Lembong, dan Ira Puspadewi mendominasi sentimen negatif. Narasi yang paling menetap adalah “KPK sudah tidak relevan”.

Kritik Program Prioritas: Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapat perhatian besar namun diiringi kritik tajam mengenai ketidaksiapan eksekusi. Janji pertumbuhan ekonomi 8% juga dinilai publik sebagai harapan yang tidak realistis.

Kelelahan Publik: Neni menyimpulkan, publik bukan hanya mengkritik, tetapi juga kelelahan karena kebijakan terasa jauh dari realitas. “Ini menandakan hubungan negara dan warga berada dalam titik paling rawan,” tegasnya.

Menanggapi temuan riset, Prof. Rhenald Kasali menegaskan pemerintah tidak bisa lagi bekerja dengan pola lama yang birokratis dan lambat. Ancaman masa depan datang dari AI, informasi palsu, dan serangan digital, bukan lagi dari tank dan pasukan.

“Jika tidak berubah, maka distrust (ketidakpercayaan) akan membesar dengan cepat,” katanya.

Forum diskusi ini turut menghadirkan tokoh lintas sektor seperti Andi Widjajanto, Atmaji Sapto Anggoro (praktisi Big Data), H. Oleh Soleh (anggota Komisi XI DPR), Muhammad Sarmuji (Sekjen Golkar), Muhammad Kholid (Sekjen PKS), dan Yuhronur Efendi (Bupati Lamongan).

Menutup acara, Neni Nur Hayati menekankan bahwa tantangan Indonesia saat ini bukan lagi ketersediaan big data, melainkan kemampuan kolektif untuk menggunakannya.

“Ketika big data sudah ada, pertanyaannya, how the next? Bagaimana kita bergerak? Dengan siapa kita bergerak? Karena di era seperti ini, kolaborasi adalah kunci,” pungkas Neni.***

Berita Lainnya

Terkini