Kabarnusa– Tahun 1985, di sela jeda ๐พ๐๐๐๐ ๐ด๐๐๐๐ ๐ช๐๐๐๐๐๐ ๐ ๐ ๐ฒ๐๐๐๐๐๐ ๐ Belanda, kami diajak mengunjungi kota Volendam, sebuah kota pelabuhan cantik di Noord Holland, berjarak 242 km dari tempat kami berlomba.
Saat berjalan-jalan, saya menyempatkan diri mampir ke toko-toko kecil di tepian dermaga, mencari oleh-oleh khas Belanda.
Tiba-tiba, di antara pajangan souvenir, mata saya tertumbuk pada sehelai kemeja batik dengan warna yang begitu memukau. Coraknya hidup, cerah, dan terpampang jelas sebuah tulisan dalam bahasa Belanda: “๐ฝ๐๐ฉ๐๐ ๐ช๐๐ฉ ๐๐๐จ๐๐ข, ๐๐ฃ๐๐ค๐ฃ๐๐จ๐๐.”
Saya mengerenyitkan kening. Meski tak paham bahasa Belanda, saya yakin betulโBatik pasti dari Indonesia.
“๐๐๐ญ๐ข๐ค ๐ฒ๐ ๐๐๐ซ๐ข ๐๐ง๐๐จ๐ง๐๐ฌ๐ข๐, ๐ค๐จ๐ค ๐๐ข๐ฃ๐ฎ๐๐ฅ ๐๐ข ๐ฌ๐ข๐ง๐ข?” batin saya penasaran.
Seorang senior yang berdiri di samping saya lalu berbisik, “๐๐๐ซ๐ ๐๐ง๐ฒ๐ ๐ฌ๐๐ค๐ข๐ญ๐๐ซ ๐ฌ๐๐ญ๐ฎ ๐ฃ๐ฎ๐ญ๐๐๐ง, ๐ฎ๐๐ง๐ ๐ค๐ข๐ญ๐!” Saya tertegun. Satu juta rupiah di tahun 1985 bukan nominal kecil untuk sekadar sepotong kemeja. “Batik semahal ini?” Ternyata, di negeri orang, batik bukan sekadar kain ia adalah mahakarya yang dihargai setinggi langit.
Puluhan tahun kemudian, baru saya tahu bahwa Lasem adalah sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pengetahuan itu saya dapat justru saat ditugaskan memimpin divisi Collection pada sebuah Bank di wilayah Timur Indonesia.
Sejak saat itu, saya jatuh cinta pada batik. Saya mempelajari ragamnya: dari Batik Pekalongan yang semarak, Batik Solo yang klasik, Batik Pecangaan Jepara yang anggun, hingga Batik Gentong Madura yang berani.
Indonesia memang negeri yang kaya, bukan hanya sumber daya alamnya, tapi juga khazanah seni budayanya.
Namun, di balik keindahannya, ada kepiluan yang mengiris. Batik tulis, warisan leluhur yang seharusnya dijaga, perlahan tergerus zaman. Generasi muda kini lebih memilih batik cetakโpraktis, murah, tapi kehilangan jiwa.
Para empu batik tulis semakin langka, digantikan mesin-mesin pencetak yang tak punya cerita. Padahal, di luar negeri, batik tulis Indonesia dihargai layaknya emas.
Di Eropa, Amerika, bahkan Jepang, kolektor rela merogoh kocek puluhan juta hanya untuk selembar kain batik tua. Sementara di tanah air, kita justru mulai melupakannya.
Inilah ironi yang harus kita akhiri. Batik bukan sekadar motif di atas kainโia adalah napas budaya, identitas bangsa, dan warisan yang harus dilestarikan.
Jika kita tak bergerak sekarang, siapa lagi? Jika bukan generasi muda yang meneruskan, lalu siapa?
Mari kita jaga batik, bukan hanya dengan memakainya, tapi juga dengan memahami filosofinya, menghargai proses pembuatannya, dan mendukung para pengrajin yang masih bertahan.
Karena kehilangan batik berarti kehilangan sepotong jiwa Indonesia.
Jangan biarkan suatu hari nanti, anak cucu kita hanya mengenal batik dari buku sejarah, atau, lebih tragis lagi, dari pajangan di toko-toko Belanda, dengan label “๐ฝ๐๐ฉ๐๐ ๐ช๐๐ฉ ๐๐๐จ๐๐ข”yang harganya selangit, tapi tak lagi milik kita.
Batik adalah cerita kita. Jangan biarkan ia punah.