![]() |
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Lucia Rizka Andalusia/BNPB |
Jakarta – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus mengawal proses
penyediaan vaksin Covid-19 dan memastikan mutu dan keamanan vaksin Covid-19
terjaga.
Diketahui, vaksin Coronavac tiba di Tanah Air pada tanggal 6 dan 31 Desember
2020, hingga keluarnya izin penggunaan darurat atau _Emergency Use
Authorization_ (EUA).
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Lucia Rizka Andalusia, BPOM juga telah
melakukan sampling dan pengujian vaksin saat kedatangannya di Bandara Soekarno
– Hatta.
BPOM telah menerbitkan sertifikat Lot Release untuk 1,2 juta vaksin dari
kedatangan pertama pada 6 Desember 2020, dan akan segera menerbitkan
sertifikat lot release untuk 1,8 juta vaksin yang datang pada 31 Desember
2020.
“Pada proses penerimaan di bandara, Badan POM melakukan pengecekan kesesuaian
dokumen, serta kesesuaian suhu tempat penyimpanan vaksin coronavac,” ungkapnya
saat memberi keterangan pers perkembangan vaksinasi di Istana Kepresidenan
Jakarta, Senin (4/1/2021).
Sertifikat Lot Release merupakan persyaratan penting yang harus dipenuhi dalam
memastikan kualitas vaksin.
Persyaratan ini merupakan standar yang ditetapkan World Health Organization
(WHO), yaitu berupa proses evaluasi yang dilakukan otoritas obat di setiap
negara untuk menjamin mutu setiap lot atau setiap batch vaksin tersebut.
“Untuk penerbitan sertifikat ini, Badan POM melakukan pengujian di
laboratorium Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional,”
lanjutnya.
Untuk proses percepatan penerbitan EUA vaksin Covid-19, BPOM melakukan
_rolling submission_ dimana data yang dimiliki oleh industri farmasi dapat
disampaikan secara bertahap.
Pihaknya juga telah melakukan evaluasi terhadap data uji praklinik, uji klinik
fase 1 dan fase 2 untuk menilai keamanan dan respon imun dari penggunaan
vaksin. Dan juga hasil uji klinik fase 3 yang dipantau dalam periode 1 bulan
setelah suntikan yang kedua.
“Tentunya, sesuai persyaratan dari WHO, minimal pengamatan harus dilakukan
sampai 3 bulan untuk interim analisis. Yang akan digunakan untuk mendapatkan
data keamanan dan khasiat vaksin sebagai data dukung pemberian EUA,” tegasnya.
Soal keamanan sangat penting dipastikan sebelum vaksin diedarkan. Karenanya
keamanan vaksin dipantau secara periodik pada subyek uji klinik. Yaitu selama
30 menit setelah penyuntikan.
Lalu, pemantauan ketat dalam 14 hari pertama, kemudian 3 bulan dan 6 bulan
setelah penyuntikan. Sesuai standar WHO, khasiat vaksin harus dibuktikan
dengan beberapa parameter.
Pertama, parameter efikasi merupakan parameter klinis yang diukur berdasarkan
persentase penurunan angka kejadian penyakit pada kelompok subyek orang yang
menerima vaksin, dibandingkan kelompok subyek atau orang yang menerima plasebo
pada uji klinik fase 3.
Kedua, paramater imuno genesitas. ialah parameter pengganti atau _surrogates
end point, efikasi berdasarkan pengukuran kadar antibodi yang terbentuk atau
dikenal IgG setelah orang diberikan suntikan.
Dan pengukuran netralisasi antibodi atau kemampuan antibodi yang terbentuk
untuk menetralkan atau membunuh virus. Pengukuran ini dilakukan dua minggu
setelah pemberian dosis terakhir, dan dilakukan pengukuran ulang pada 3 bulan
sampai 6 bulan setelah vaksin disuntikkan.
“Setelah kita mendapatkan data-data tersebut, maka dapat diberikan persetujuan
penggunaan atau EUA. Sedangkan untuk efektivitas vaksin kita terus akan
memantau kemampuan vaksin menurunkan kejadian penyakit di masyarakat dalam
jangka waktu yang lama,” tambahnya.
Untuk efektivitas vaksin diukur setelah digunakan secara luas di masyarakat
pada kondisi yang nyata di lapangan atau di dunia pelayanan kesehatan yang
sebenarnya.
Meski demikian saat ini BPOM masih menunggu penyelesaian analisis data uji
klinik fase 3 di Bandung untuk mengkonfirmasi khasiat atau efikasi vaksin
Coronavac dalam rangka penerbitan EUA. (rhm)