Jakarta – Tahun 2024 menjadi tahun yang kelam bagi jurnalis, dengan 516 dipenjara dan 122 tewas secara global, termasuk di zona konflik Gaza sebagaimana data diampaikan International Federation of Journalists atau IFJ.
Di tengah upaya mereka menyajikan kebenaran dan informasi bagi publik, para wartawan masih harus berhadapan dengan ancaman kekerasan. Intimidasi, doxing, bahkan kekerasan fisik menjadi bagian dari risiko pekerjaan mereka.
Menyikapi kondisi ini, Dewan Pers dan International Media Support (IMS) mengambil langkah konkret dengan menandatangani MoU “Meningkatkan Keamanan dan Standar Profesional Wartawan di Indonesia” pada 6 Maret 2025 di Gedung Dewan Pers, Jakarta.
Menurut Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, kemitraan dengan IMS adalah langkah penting dalam meningkatkan keselamatan dan standar profesional jurnalis. Walaupun mekanisme perlindungan sudah ada, penegakan kemerdekaan pers membutuhkan keterlibatan luas.
Dewan Pers telah menjalin kerja sama dengan Polri, MA, dan Kemendiktisaintek, tetapi kolaborasi dengan pemangku kepentingan lain, termasuk IMS, sangat penting untuk perlindungan yang lebih komprehensif, khususnya bagi jurnalis perempuan.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyampaikan apresiasi kepada IMS atas kontribusi dalam penyusunan konsep dan pelibatan pemangku kepentingan.
Ninik Rahayu menekankan perlunya implementasi mekanisme perlindungan dengan instrumen pengawasan yang efektif, serta kebijakan yang mengikat lembaga terkait pencegahan kekerasan terhadap jurnalis.
Direktur Regional Asia IMS, Lars Bestle, menegaskan komitmen IMS untuk memastikan jurnalisme yang berfungsi untuk kepentingan publik, dengan fokus pada perlindungan dan keamanan pekerja media.
Lars Bestle dari IMS menyatakan bahwa kolaborasi ini adalah kunci untuk mengembangkan ekosistem media yang berkelanjutan di Indonesia, dan akan menjadi model yang diterapkan secara global.
Di Indonesia, upaya penyusunan mekanisme nasional keselamatan jurnalis sedang berlangsung, melibatkan Dewan Pers, KKJ, pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil melalui serangkaian FGD yang telah dilaksanakan tiga kali.
Setelah FGD, tim penyusun kini merumuskan mekanisme yang didasarkan pada tiga pilar utama: pencegahan, perlindungan, dan penegakan hukum. Hasil rumusan ini akan disosialisasikan untuk meningkatkan pemahaman tentang aturan dan UU Pers.
Untuk memberikan konteks pada pentingnya MoU, sesi pemaparan tentang kondisi media dan jurnalis di Indonesia diadakan, dengan Nani Afrida (AJI) dan Wahyu Dhyatmika (AMSI) sebagai pembicara.
Tahun 2024 menjadi tahun yang kelam bagi jurnalis, dengan 516 dipenjara dan 122 tewas secara global, termasuk di zona konflik Gaza, menurut IFJ.
Nani Afrida dari AJI menyoroti kekerasan yang dialami jurnalis Indonesia, dari gugatan perdata fantastis, pembunuhan yang brutal, penganiayaan, teror bom, perusakan properti, hingga swasensor dan take down berita. Ironisnya, banyak kasus ini masih menggantung tanpa kejelasan.
Dalam penandatanganan MoU tersebut, hadir pula Programme Manager for Human Rights and Democracy of the European Union Delegation to Indonesia and Brunei Darussalam, Saiti Gusrini; IMS Asia Regional Advisor, Ranga Kalansooriya; IMS Indonesia Country Manager, Eva Danayanti; perwakilan Kedutaan Besar Inggris dan Swiss; anggota Dewan Pers, A. Sapto Anggoro dan Asep Setiawan, serta Suwarjono (Pemred Suaradotcom) yang mewakili unsur masyarakat pers.